Al-Suyuthi
mengatakan disunnahkan untuk memperindah suara dalam membaca al-Qur’an dan
menghiasinya. Dengan landasan hadis Ibnu Hibban:
زَيِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
Hiasilah al-Qur’an
dengan suaramu (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)[1]
Keterangan
lain mengatakan pula dengan hadis diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab al-Muwat}t}a’,
dan al-Nasa’i di dalam sunannya, dari Hudzaifah dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda:
اِقْرَؤُا الْقُرْآنَ بِلُحُوْنِ الْعَرَبِ
وَأَصْوَاتِهَا وَ إِيَّاكُمْ وَلُحُوْنِ أَهْلِ الْكِتَابِ وَأَهْلَ الْفِسْقِ
فَإِنَّهُ سَيَجِيْءُ أَقْوَامُ يَرْجِعُوْنَ بِالْقُرْآنِ تًرْجِيْعُ الْغِنَاءُ
وَالرَّهْبَانِيَةُ لَا يُجَاوُزُ حَنَاجِرَكُمْ مَفْتُوْنَةٍ قُلُوْبُهُمء
وَقُلُوْبُ مََنْ يُعْجِبُهُمْ شَأْنُهُمْ
Bacalah al-Qur’an itu dengan lagu bacaan
Arab dan suaranya, dan jangan sampai kalian menggunakan gaya ahli kitab, dan
orang fasik. Sebab, akan dating kaum yang melagukan al-Qur’an dengan lagu-lagu
seperti kidung para pendeta yang tidak melewati kerongkongan kalian, hati
mereka terfitnah, juga hati yang kagum dengan penampilan mereka. (H.R. Thabrani dan Baihaqi).[2]
Namun
sebagian sahabat Rasulullah SAW, para tabi’in dan para ulama’ bahwa membaguskan
suara pada bacaan al-Qur’an itu hukumnya sunnah, karena meresapkan hati, lebih
membekas pada perasaan dan lebih condong perhatian orang-orang yang
mendengarnya. Namun beberapa sahabat yang sangat hati-hati mempunyai pendapat
yang berbeda. Seperti yang diriwayatkan Abu Ziyad al-Numairi bahwa ia datang
bersama beberapa qurra’ kepada Anas bin Malik, kemudian Anas
memerintahkan kepadanya, “Bacalah al-Qur’an”!, orang itu pun membaca al-Qur’an
dengan suara keras dan dengan itu, Anas membuka tutup wajahnya dan berkata:
“Wahai orang ini, para sahabat dahulu tidak membaca seperti itu”.[3]
Di
antara para sahabat yang menyatakan bahwa makruh hukumnya melagukan al-Qur’an
adalah Said bin Musayyab, Sa’id bin Jabir, Qashim bin Muhammad, al-Hasan, Ibnu
Sirrin, dan al-Nakha’i. Malik dan Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan membaca
al-Qur’an dengan suara keras dan melagukannya. Diriwayatkan dari Sa’id bin
Musayyab bahwa ia mendengar Umar bin Abdul Aziz mengimami shalat berjama’ah
dengan membaca al-Qur’an dan melagukannya. Sa’id datang kepadanya dan berkata:
“Semoga Allah memperbaikimu, sesungguhnya para imam tidak membaca seperti ini”.
Setelah itu Umar tidak lagi membaca dengan lagu.[4]
Namun
sebagian ulama’ tetap membolehkan membaca al-Qur’an dengan suara keras dan
melagukannya. Sebab, jika bersuara merdu, maka akan lebih dinikmati jiwa dan
lebih didengarkan oleh hati. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah:
لََيِْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
Tidak termasuk golongan kami orang yang
tidak membaca al-Qur’an dengan melagukannya
(H.R. Muslim).[5]
Berkata
Abu Usman al-Nahdi: Aku ke rumah Abu Musa al-Asy’ari maka aku tidak mendengar
suara cymbals (sejenis alat music kayu) dan seruling, tetapi aku
mendengar suaranya lebih bagus dari semuanya itu. Ketika nabi Muhammad SAW
memberitahukan kepada Abu Musa al-Asy’ari bahwa nabi mendengar suaranya, Abu
Musa berkata:
إِنِّيْ لَوْ عَلِمْتُ بِمَكَانِكَ لَحَبَرْتُهُ لَكَ
عَبِيْرًا
Andaikata kalau aku tahu bahwa engkau
memperhatikan suaraku maka akan mengindahkan lagi suaraku semaksimal mungkin.[6]
Husaid
bin Hudair RA, termasuk sahabat Nabi yang mempunyai suara bagus dan menarik.
Pada suatu malam ia membaca satu surah dalam al-Qur’an, di sampingnya terdapat
seekor kuda yang terikat dua tali. Pada saat Husaid sedang membaca al-Qur’an,
maka turunlah segumpal awan yang besar ke arah Husaid. Awan itu terus mendekat
kepadanya hingga kudanya melompat-lompat lari setelah putus dari ikatannya.
Maka esok harinya, ia menyampaikan kejadian itu kepada rasulullah, lalu rasul
bersabda:
تِلْكَ الْمَلَائِكَةُ دَنَتْ لِصَوْتِكَ
Itu adalah Malaikat
yang medekati engkau karena suara engkau.[7]
Maka
dari sini nyatalah bahwa Nabi Muhammad SAW memuji suara Abu Musa al-Asy’ari
dalam membaca al-Qur’an. Semuanya karena Islam suka pada keindahan, sempurna
huruf-huruf, idgha>m, sifat dan madnya.
Namun
di samping banyak ulama’ yang menyunahkan membaca al-Qur’an dengan lagu, ada
beberapa ulama’ yang mengatakan tidak boleh, di antara ulama yang tidak
membolehkan melagukan al-Qur’an adalah al-Qurthubi dan Sakhawi. Terhadap dalil
misalnya zain al-Qur’a>na bi as}wa>tikum, ia berpendapat hadis itu
tidak bisa dipegang makna zahir tetapi sebenarnya adalah hiasilah suaramu
dengan al-Qur’an. Terhadap hadis laisa minna> man lam yataghanna bil
Qur’a>n dimaknai sebagai bukan dari golongan Nabi Muhammad ketika ia
memperkaya diri dengan al-Qur’an, atau ia miskin dari nilai dan bacaan
al-Qur’an.[8]
Namun
pertanyaan berikutnya adalah, bolehkah seseorang membaca al-Qur’an dengan lagu
daerah, atau yang sekarang ini yang sering bermunculan dengan lagu-lagu bernada
Jawa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, hemat
penulis harus didasari ayat al-Qur’an:
Bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan. (Q.S. al-Muzammil [73]: 4
Ayat ini mewajibkan setiap orang dalam membaca al-Qur’an hendaklah
dengan mengikuti kaidah-kaidah atau tata cara yang benar, tidak asal-asalan
membunyikan huruf maupun panjang pendeknya. Karena membaca asal bunyi akan
merusak makna dan akan merusak nilai-nilai al-Qur’an sebagai kitab yang mulya.
Ulama’ dalam menetapkan kaidah ilmu tajwi>d mestinya dengan berusaha
keras agar al-Qur’an itu dibaca seperti ia diturunkan, agar tidak menyelisihi
makna atau pesan yang terkandung di dalamnya. Kalau misalnya bahasa Indonesia
saja diucapkan salah, maka bisa jadi orang yang mendengarnya sulit memahaminya,
apalagi kitab setingkat wahyu. Ini dasar atau fondasi utama dalam membaca
al-Qur’an.
Mengenai
masalah boleh atau tidak dilagukan dengan bahasa selain Arab, misalnya dengan
nada Jawa, hemat penulis tidak masalah, dengan syarat bacaan al-Qur’annya tidak
rusak dan melanggar kaidah-kaidah tajwi>d. Abu Musa melagukan
al-Qur’an dengan suara Arab karena memang ia orang Arab, tetapi belum tentu
pendengar yang non-arab tersentuh dengan lagu yang dia bawakan ketika ia
membaca al-Qur’an dengan nada Arab. Maka di sini muncul sebuah usaha, bagaimana
al-Qur’an jika dibaca mampu membuat orang lain tersentuh sampai ke kalbu, namun
dalam membacanya itu tetap pada jalur atau mengikuti kaidah tajwi>d?
Di antara cara yang dilakukan adalah dengan melagukan al-Qur’an sesuai dengan khita>b
masing-masing daerah, ada Jawa, ada Sunda, ada Melayu, dan sebagainya, semua
dengan satu tujuan yaitu agar pendengar tersentuh dengan tidak melupakan kaidah
dalam membaca al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar