Alma'arif

Selasa, 04 November 2014

Hukum Nagham al-Qur'an




Al-Suyuthi mengatakan disunnahkan untuk memperindah suara dalam membaca al-Qur’an dan menghiasinya. Dengan landasan hadis Ibnu Hibban:
زَيِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
Hiasilah al-Qur’an dengan suaramu (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)[1]

Keterangan lain mengatakan pula dengan hadis diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab al-Muwat}t}a’, dan al-Nasa’i di dalam sunannya, dari Hudzaifah dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:

اِقْرَؤُا الْقُرْآنَ بِلُحُوْنِ الْعَرَبِ وَأَصْوَاتِهَا وَ إِيَّاكُمْ وَلُحُوْنِ أَهْلِ الْكِتَابِ وَأَهْلَ الْفِسْقِ فَإِنَّهُ سَيَجِيْءُ أَقْوَامُ يَرْجِعُوْنَ بِالْقُرْآنِ تًرْجِيْعُ الْغِنَاءُ وَالرَّهْبَانِيَةُ لَا يُجَاوُزُ حَنَاجِرَكُمْ مَفْتُوْنَةٍ قُلُوْبُهُمء وَقُلُوْبُ مََنْ يُعْجِبُهُمْ شَأْنُهُمْ
Bacalah al-Qur’an itu dengan lagu bacaan Arab dan suaranya, dan jangan sampai kalian menggunakan gaya ahli kitab, dan orang fasik. Sebab, akan dating kaum yang melagukan al-Qur’an dengan lagu-lagu seperti kidung para pendeta yang tidak melewati kerongkongan kalian, hati mereka terfitnah, juga hati yang kagum dengan penampilan mereka. (H.R. Thabrani dan Baihaqi).[2]

Namun sebagian sahabat Rasulullah SAW, para tabi’in dan para ulama’ bahwa membaguskan suara pada bacaan al-Qur’an itu hukumnya sunnah, karena meresapkan hati, lebih membekas pada perasaan dan lebih condong perhatian orang-orang yang mendengarnya. Namun beberapa sahabat yang sangat hati-hati mempunyai pendapat yang berbeda. Seperti yang diriwayatkan Abu Ziyad al-Numairi bahwa ia datang bersama beberapa qurra’ kepada Anas bin Malik, kemudian Anas memerintahkan kepadanya, “Bacalah al-Qur’an”!, orang itu pun membaca al-Qur’an dengan suara keras dan dengan itu, Anas membuka tutup wajahnya dan berkata: “Wahai orang ini, para sahabat dahulu tidak membaca seperti itu”.[3]
Di antara para sahabat yang menyatakan bahwa makruh hukumnya melagukan al-Qur’an adalah Said bin Musayyab, Sa’id bin Jabir, Qashim bin Muhammad, al-Hasan, Ibnu Sirrin, dan al-Nakha’i. Malik dan Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan membaca al-Qur’an dengan suara keras dan melagukannya. Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab bahwa ia mendengar Umar bin Abdul Aziz mengimami shalat berjama’ah dengan membaca al-Qur’an dan melagukannya. Sa’id datang kepadanya dan berkata: “Semoga Allah memperbaikimu, sesungguhnya para imam tidak membaca seperti ini”. Setelah itu Umar tidak lagi membaca dengan lagu.[4]
Namun sebagian ulama’ tetap membolehkan membaca al-Qur’an dengan suara keras dan melagukannya. Sebab, jika bersuara merdu, maka akan lebih dinikmati jiwa dan lebih didengarkan oleh hati. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah:
لََيِْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak membaca al-Qur’an dengan melagukannya (H.R. Muslim).[5]

Berkata Abu Usman al-Nahdi: Aku ke rumah Abu Musa al-Asy’ari maka aku tidak mendengar suara cymbals (sejenis alat music kayu) dan seruling, tetapi aku mendengar suaranya lebih bagus dari semuanya itu. Ketika nabi Muhammad SAW memberitahukan kepada Abu Musa al-Asy’ari bahwa nabi mendengar suaranya, Abu Musa berkata:
إِنِّيْ لَوْ عَلِمْتُ بِمَكَانِكَ لَحَبَرْتُهُ لَكَ عَبِيْرًا
Andaikata kalau aku tahu bahwa engkau memperhatikan suaraku maka akan mengindahkan lagi suaraku semaksimal mungkin.[6]

Husaid bin Hudair RA, termasuk sahabat Nabi yang mempunyai suara bagus dan menarik. Pada suatu malam ia membaca satu surah dalam al-Qur’an, di sampingnya terdapat seekor kuda yang terikat dua tali. Pada saat Husaid sedang membaca al-Qur’an, maka turunlah segumpal awan yang besar ke arah Husaid. Awan itu terus mendekat kepadanya hingga kudanya melompat-lompat lari setelah putus dari ikatannya. Maka esok harinya, ia menyampaikan kejadian itu kepada rasulullah, lalu rasul bersabda:
تِلْكَ الْمَلَائِكَةُ دَنَتْ لِصَوْتِكَ
Itu adalah Malaikat yang medekati engkau karena suara engkau.[7]

Maka dari sini nyatalah bahwa Nabi Muhammad SAW memuji suara Abu Musa al-Asy’ari dalam membaca al-Qur’an. Semuanya karena Islam suka pada keindahan, sempurna huruf-huruf, idgha>m, sifat dan madnya.
Namun di samping banyak ulama’ yang menyunahkan membaca al-Qur’an dengan lagu, ada beberapa ulama’ yang mengatakan tidak boleh, di antara ulama yang tidak membolehkan melagukan al-Qur’an adalah al-Qurthubi dan Sakhawi. Terhadap dalil misalnya zain al-Qur’a>na bi as}wa>tikum, ia berpendapat hadis itu tidak bisa dipegang makna zahir tetapi sebenarnya adalah hiasilah suaramu dengan al-Qur’an. Terhadap hadis laisa minna> man lam yataghanna bil Qur’a>n dimaknai sebagai bukan dari golongan Nabi Muhammad ketika ia memperkaya diri dengan al-Qur’an, atau ia miskin dari nilai dan bacaan al-Qur’an.[8]
Namun pertanyaan berikutnya adalah, bolehkah seseorang membaca al-Qur’an dengan lagu daerah, atau yang sekarang ini yang sering bermunculan dengan lagu-lagu bernada Jawa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, hemat penulis harus didasari ayat al-Qur’an:
 
Bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan. (Q.S. al-Muzammil [73]: 4

Ayat ini mewajibkan setiap orang dalam membaca al-Qur’an hendaklah dengan mengikuti kaidah-kaidah atau tata cara yang benar, tidak asal-asalan membunyikan huruf maupun panjang pendeknya. Karena membaca asal bunyi akan merusak makna dan akan merusak nilai-nilai al-Qur’an sebagai kitab yang mulya. Ulama’ dalam menetapkan kaidah ilmu tajwi>d mestinya dengan berusaha keras agar al-Qur’an itu dibaca seperti ia diturunkan, agar tidak menyelisihi makna atau pesan yang terkandung di dalamnya. Kalau misalnya bahasa Indonesia saja diucapkan salah, maka bisa jadi orang yang mendengarnya sulit memahaminya, apalagi kitab setingkat wahyu. Ini dasar atau fondasi utama dalam membaca al-Qur’an.
Mengenai masalah boleh atau tidak dilagukan dengan bahasa selain Arab, misalnya dengan nada Jawa, hemat penulis tidak masalah, dengan syarat bacaan al-Qur’annya tidak rusak dan melanggar kaidah-kaidah tajwi>d. Abu Musa melagukan al-Qur’an dengan suara Arab karena memang ia orang Arab, tetapi belum tentu pendengar yang non-arab tersentuh dengan lagu yang dia bawakan ketika ia membaca al-Qur’an dengan nada Arab. Maka di sini muncul sebuah usaha, bagaimana al-Qur’an jika dibaca mampu membuat orang lain tersentuh sampai ke kalbu, namun dalam membacanya itu tetap pada jalur atau mengikuti kaidah tajwi>d? Di antara cara yang dilakukan adalah dengan melagukan al-Qur’an sesuai dengan khita>b masing-masing daerah, ada Jawa, ada Sunda, ada Melayu, dan sebagainya, semua dengan satu tujuan yaitu agar pendengar tersentuh dengan tidak melupakan kaidah dalam membaca al-Qur’an.



[1] Abu Abdurrah}aman Ah}mad bin Syu’aib al-Nasa’iy, Sunan al-Nasa’iy (Beirut: Da>r al-Fikr, 1980), hlm. 283
[2] Abu> Bakar Ah}mad bin H}usain al-Baihaqi, Dala>il al-Nubuwwah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1983), hlm. 11

[3] Yusuf Qaradhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 237

[4] Labi>b al-Sa’i>d, al-Taghanni bi al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah al-Saqafiyyah, 1970), hlm. 34
[5] Software Maktabah Syamilah

[6] Labi>b al-Sa’i>d, al-Taghanni bi al-Qur’a>n, hlm. 21

[7] Labi>b al-Sa’i>d, al-Taghanni bi al-Qur’a>n, hlm. 21
[8] Diringkas dari: Yusuf Qaradhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, hlm. 234-242

Tidak ada komentar:

Posting Komentar