HERMENEUTIKA HADIS ALA FAZLUR RAHMAN
Alma’arif
1320510013
Abstract
Fazlur Rahman was a very famous Islamic reformer. He was from
Pakistan who previuosly had no contemporary thinkers such as Ahmad Khan dan
Sayyid Amir Ali and M. Iqbal. Rahman was included on to neo-modernist. He mastered
turath and human sciences in Islamic studies. On the understanding of hadith,
Rahman made a concept that need for reevaluation of the diverse elements in the
hadith and reinterpretation of a comprehensive and holistic to the elements in
accordance with moral – sicial conditions in the present. This can be done with
historical studies and the Qur’an as a reference. It must distinguish between
the traditions of the historical and biography, that the traditions are
supported by the facts of history, from technical traditions largely historical,
the traditions that are not supported by historical facts validity.
A. Pendahuluan
Bermula dari kegelisahan paling mendasar dari
seorang intelektual neo-modernis, Fazlur Rahman, yang pasti juga dirasakan oleh
banyak kalangan Muslim, yaitu kondisi di mana kaum Muslim telah menutup
rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual
yang luar biasa. Rahman merasakan situasi ini sangat tidak kondusif untuk
mengetengahkan Islam sebagai agama alternatif di tengah gelombang perubahan
zaman yang kian dinamis.
Tertutupnya pintu ijtiha>d telah
mematikan kreatifitas intelektual umat yang pada awal-awal sejarah umat Islam
tumbuh begitu luar biasa. Pada akhirnya Islam menjadi seperangkat doktrin yang
beku dan tentu sulit untuk tampil memberi jawaban-jawaban atas problem
keummatan di tengah gelombang modernitas. Penutupan pintu ijtihad ini, secara
logis mengarahkan kepada kebutuhan terhadap taqli>d, suatu istilah
yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la> kaifa terhjadap
doktrin mazhab-mazhab dan otoritas-otoritas yang telah mapan. Dalam
memberlakukan sumber ajaran Islam–al-Qur’an dan Sunnah Nabi – umat Islam
mengembangkan suatu sikap yang kaku lewat pendekatan-pendekatan ahistoris,
literalistis dan atomistis.
Situasi seperti itu segera memancing reaksi dari
para pembaharu Muslim untuk melakukan langkah-langkah “penyelamatan” terhadap
ajaran Islam yang kian keropos oleh sejarah. Akan tetapi–sebagaimana disaksikan
oleh Fazlur Rahman -, mereka dalam melakukan pembaharuan umumnya metode yang
digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang ad
hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur
serta talfiq. Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan
pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory.
Memungut fragmen-fragmen opini masa lampau yang terisolasi – tanpa
mempertimbangkan latar kesejarahannya–kemudian menyusunnya ke dalam sejenis
mosaik yang tidak semena-mena dengan menyelundupkan di bawah permukaannya
sebagai struktur ide yang dipinjam dari Barat–tanpa mempertimbangkan
kontradiksi atau inkonsistensi – jelas merupakan pembaharuan yang artifisial
dan tidak realistis. Itulah sebabnya, seorang Josept Schacht menegaskan :
“Yurispridensi dan legislasi Islam kaum modernis, agar dapat bersifat logis dan
permanen, tengah membutuhkan suatu basis teoritis yang lebih tegar dan
konsisten.[1]
Studi Fazlur Rahman mengenai hadis memiliki arti yang
sangat urgen terhadap pembaharuan pemikiran Islam, khususnya sumbangannya dalam
bidang metode dan pendekatan. Pendekatan historis yang ia tawarkan adalah
kontribusi yang sangat positif terhadap studi hadis yang selama ini disibukkan
dengan persoalan kritik sanad, yang menurut ia, walaupun hal itu memberikan
informasi biografis yang kaya dan unik, tetapi hal itu belum bisa dikatakan
sebagai hal yang final. Umat Islam dewasa ini membutuhkan upaya metodologis
untuk mencairkan kembali hadis-hadis
yang ada dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah), ide moral, dan
legal spesifik.
Dalam tulisan ringkas ini mencoba menjelaskan mengenai
pemikiran Fazlur Rahman mengenai hadis. Dalam membahas pemikirannya mengenai
hadis, maka point-point yang dikaji adalah mengenai perjalanan intelektualnya
dan kondisi sosio-historis yang melingkupinya, pandangannya mengenai sunnah dan
hadis, hermeneutika mengenai hadis menurut pandangannya, genealogi
keilmuwannya, dan aplikasi pemahamannya. Point akhir dari tulisan ini adalah
kesimpulan.
B. Sketsa
Perjalanan Intelektual Fazlur Rahman
Fazlur Rahman (1919-1988) berasal dari keluarga ulama
Mazhab Hanafi. Sebuah Mazhab Sunni yang mempunyai watak liberal dengan
mengandalkan peran akal. Fazlur Rahman lahir pada 21 September 1919 di distrik
Hazara ketika India belum pecah menjadi dua negara. Daerah tersebut terletak di
sebelah Barat laut Pakistan. Ayahnya, Maulana Shahab al-Di>n adalah seorang
ulama’ terkenal lulusan Deoband. Keluarganya dikenal sebagai kalangan alim yang
termasuk tekun dalam menjalankan ibadah agama. Ibadah sehari-hari dijalankan
teratur dan tepat waktu, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. ini
sebagai bukti bahwa kondisi keluarganya termasuk Sunni dan masih memegang teguh
tradisi. Ia menikah dengan Ny. Bilqis Rahman.[2]
Ia telah menghafal ayat-ayat al-Qur’an sebanyak 30 juz
semenjak usia 10 tahun. Kendatipun kondisi keluarga masih berkutat pada bentuk
tradisi, namun prilaku kekeluargaan yang sangat akomodatif terhadap unsur
modernitas. Ayahnya sangat menghargai pendidikan modern. Sehingga dari dorongan
ayahnya itu lah yang benayak mempengaruhi pemikiran Fazlur Rahman di kemudian
hari.[3]
Bagi John El Esposito, Fazlur Rahman mauk kategori
tokoh liberal.[4]
Pola pikir liberal yang dikembangkan Fazlur Rahman banyak dipengaruhi oleh
pendahulunya. Di Pakistan lebih berkembang pemikiran yang agak liberal seperti
yang dikembangkan oleh Syaikh Waliyullah, Sayyid Ahmad Khan, Sir Sayyid Amir
Ali, dan Muhammad Iqbal. Sehingga tidak kaget ia memberanikan diri untuk
mencoba menunjukkan liberalisme Islam tetapi tetap dengan frame
al-Qur’an.
Secara
ringkas, perjalanan intelektual Fazlur Rahman sebagai berikut:
1. Pada usia 14
tahun atau sekitar tahun 1933 Fazlur Rahman dibawa ke Lahore-tempat tinggal
leluhurnya dan memasuki sekolah modern. Sekolah ini didirikan oleh Muhammad
Qasim Natawi pada 1867.[5] Semangat muda Rahman
mengantarkan ia gemar belajar filsafat, Bahasa Arab, Teologi, hadis, tafsir
pada usia 14 tahun. Lebih dari itu, karir intelektualnya ditingkatkan dengan
penguasaan berbagai bahasa yaitu Persia, Urdu, Inggris, Perancis dan Jerman.
Bahasa Eropa kuno pun yaitu Latin dan Yunani ia dalami sebagai pengetahua yang workable.[6]
2. Pada tahun
1940, ia menyelesaikan pendidkan akademiknya dengan gelar Bachelor of Art
(BA) dalam bidang Bahasa Arab pada Punjab University Lahore. Tahun 1942, Gelar
Master (MA) berhasil diperolehnya dari univeritas yang sama.[7]
3. Tahun 1946 di
usianya yang ke 27 Fazlur Rahman berangkat studi doktoral di Oxford Inggris.
Disertasi yang ia angkat adalah tentang Ibnu Sina di bawah bimbingan Van Den
Bergh dan H.A.R. Gibb. Gelar Ph.D (Philosphy Doctor) berhasil ia raih
pada tahun 1949. Rahman melanjutkan ke barat karena dalam pandangannya mutu
pendidikan tinggi Islam di India ketika itu sangat rendah.[8]
Setelah ia menerima gelar Doctor of Philosophy
(Ph.D) dari Oxford University, Rahman tidak langsung pulang ke Pakistan yang
baru saja merdeka beberapa tahun dan telah memisahkan diri dari India. Ia masih
merasa cemas dengan keadaan negerinya yang masih terlalu sulit menerima
kehadiran putra bangsa yang menjadi sarjana keislaman hasil didikan Barat.
Maka, untuk beberapa tahun dia memilih mengabdikan dirinya dengan mengajar di
Universitas Durham Ingris, dan kemudian pindah ke Universitas McGill, Motreal,
Kanada. Dari lembaga ini kemudian didirikan Institute of Islamic Studies
yang dirintis oleh Wilfred Cantwell Smith. Selanjutnya lembaga ini menjadi
popular hingga sekarang sebagai sebuah institute pengakajian Islam di Barat.[9]
Namun sekitar tahun 1960-an Fazlur Rahman kembali ke
Pakistan untuk menjadi staf senior sebuah lembaga penelitian di Karachi bernama
Institute of Islamic Research.[10] Selain menjabat sebagai
direktur Institute of Islamic Research, pada tahun 1964, Fazlur Rahman
diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah
Pakistan. Kedua lembaga ini mempunyai hubungan kerja yang sangat erat karena
data dan bahan yang digunakan sebagai rancangan undang-undang diminta Dewan
Penasehat dari hasil penelitian lembaga riset.[11]
Pemikiran Fazlur Rahman yang dianggap menyimpang
adalah seputar Sunnah dan hadis, riba dan bunga bank, zakat dan fatwa kehalalan
penyembelihan binatang secara mekanis. Pemikiran ini menjadi kontroversial
berskala nasioanal Pakistan. Puncak kemarahan kepada Fazlur Rahman adalah
ketidaksepakatannya terhadap karya monumentalnya, Islam. Buku yang ditulis pada
tahun 1966 berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu dan dilaunchingkan
pada September 1967 di jurnal lokal Fikr-u Nazir. Dalam buku itu Fazlur
Rahman menyatakan bahwa: al-Qur’an secara keseluruhan adalah kalam Allah dan
dalam pengertian biasa juga seluruhnya merupakan perkataan Muhammad.[12]
Di tengah situasi yang
tidak kondusif tersebut dan Rahman mengundurkan diri Dari jabatannya di
Pakistan, Rahman mendapatkan tawaran dari Universitas California, Los Angeles
untuk mengajar. Pada tahun 1968, ia bersama keluarga memutuskan untuk hijrah ke
sana kemudian pada tahun 1969, ia mengajar di Universitas Chicago dan diangkat
menjadi Guru Besar pemikiran Islam di
Universitas tersebut. Maka ia meneruskan karirnya dengan hijrah ke luar negeri.
Ia memilih untuk hidup kembali di dunia barat, tepatnya di Chicago sejak tahun
1968 hingga akhir hayatnya.[13]
C. Konsep
Hermeneutika Hadis ala Fazlurr Rahman
1. Konsep Sunnah
dan Hadis
Berdasarkan
beberapa literature leksikografi (kamus bahasa) seperti lisa>n al-‘Arab
karya Ibnu Manz}u>r, Jamharah (al-Lugah) karya Ibnu Duraid) dan Taj
al-‘Arusy karya al-Zabidi, Rahman mendefinisikan Sunnah sebagai sebuah
bangunan konseptual. Pentingnya memahami sunnah sebagai sebuah konsep adalah
terkait dengan pemhaman kita terhadap perkembangan hadis, atau setidak-tidaknya
selama Islam zaman pertengahan di mana kata tersebut (selalu) diidentikkan
dengan norma-norma praktis atau model tingkah laku yang terkandung dalam hadis.[14]
Sebagaimana
dalam karya Islam, menurut Rahman, secara etimologis kata sunnah berarti jalan
yang telah ditempuh dan dipergunakan oleh orang-orang Arab sebelum Islam untuk
tujuan model tingkah laku yang telah ditentukan oleh nenek moyang suatu suku.
Konsep sunnah dalam konteks tersebut mempunyai dua bagian arti: (a) sebuah
fakta historis mengenai tingkah laku, dan (b) Kenormatifannya bagi generasi
sesudahnya. Dengan pengertian seperti inilah al-Qur’an menggunakan kata sunnah
untuk menggambarkan para penentang Islam sebagai pendukung teladan prilaku
nenek moyang mereka yang bertentangan dengan ajaran baru yang dibawa Islam
[misalnya Q.S. 8: 38, 15:13 dan 36:69]. Al-Qur’an juga berbicara tentang sunnah
Allah, yaitu ketentuan Allah dengan pola nasib masyarakat-masyarakat
manusia-suatu ketentuan yang tidak dapat diubah [Q.S. 33:62, 35:43, 42:23 dan
17:77]. Di sini juga ditemukan dua bagian arti, yaitu ketentuan yang telah
lampau (dalam hal ini ketentuan dari satu wujud saja) yang mesti di sini akan
berlaku di masa yang akan datang.[15]
Oleh karena
itu, Rahman menyatakan bahwa sunnah adalah sebuah konsep prilaku, yakni sebuah
hukum tingkah laku yang diterapkan untuk tindakan-tindakan fisik ataupan
mental, baik yang terjadi sekali saja maupun yang berulang-ulang kali. Karena
tingkah laku yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah tingkah laku dari
prilaku yang sadar dari pelaku-pelaku yang sadar, maka sunnah tidak hanya
merupakan hukum tingkah laku sebagaimana yang terjadi pada hukum-hukum benda
alam, melainkan juga sebuah hukum moral yang bersifat normatif. Bahkan secara
tegas Rahman menyatakan bahwa kata sunnah sebenarnya tingkah laku yang
meruapakan teladan. Oleh karena itu, pendapat sarjana Barat yang menyatakan
bahwa sunnah adalah praktik aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya sehingga memperoleh status menjadi sunnah,
jelas tidak bisa diterima. Sebab praktik aktual ini tidak bisa ditegakkan
melainkan apabila secara ab intio dianggap normatif.[16] Sehingga kenormativan sebuah sunnah, menurut
Rahman, harus mendahului praktik aktualnya.
Dari sini
Rahman tampaknya lebih menitikberatkan makana sunnah sebagai sebuah konsep
pengayoman daripada mempunyai kandungan khusus yang bersifat mutlak. Menurutnya
sunnah Nabi lebih tepat dipahami sebagai sebuah petunjuk arah daripada
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Inilah pengertian sunnah yang harus
dijadikan landasan bagi kaum muslimin. Pernyataan Rahman mengenai hal ini
sebagai berikut:
That the prophetic sunnah
was a general umbrella-concept rathen than filled with an absolutely specific
content flows directly, at theoretical level, from the fact that the sunnah si
a behavorial term: since not two cases, in practice, are very exactly
indentical in their situational setting-moral, psychological and
material-sunnah must, of necessity, allow of interpretation and adaption.[17]
Sunnah nabi lebih tepat menjadi sebuah konsep
pengayoman umum daripada sekedar berisikan sebuah kandungan khusus yang
bersifat mutlak, pada level teoritis, yang secara langsung berasal dari fakta
bahwa sunnah adalah istilah prilaku: karena tidak ada dua kasus, dalam
kenyataannya, menjadi benar-benar sama dalam lata belakang situasional, moral,
psikologis, dan material, maka sunnah harus menerima interpretasi dan adaptasi.
Sementara hadis
(secara harfiah/leksikal bebarti cerita, peraturan, atau laporan) adalah sebuah
narasi, biasanya sangat singkat dan bertujuan memberikan inforamsi tentang apa
yang dikatakan nabi, dilakukan, dan disetujui atau tidak disetujui beliau, juga
informasi yang sama mengenai para sahabat, terutama para sahabat senior, lebih
khusus lagi keempat khalifah yang pertama. Setiap hadis mengandung dua bagian,
teks (matn) hadis itu sendiru dan mata rantai transmisi atau isnadnya
yang menyebutkan nama-nama penuturnya (rawi) sebagai penopang bagi teks
tersebut.[18]
Oleh karena itu, hadis juga disebut Rahman sebagai dengan istilah tradisi verbal,
sebuah tradisi yang ditransmisikan. Tardisi verbal inimerupakan lawan dari
tradisi non-verbal atau prakts yang disebut dengan istilah sunnah, sebuah
tradisi yang diam atau hidup.[19]
Pada dasarnya,
Rahman mengakui bahwa hadis mula-mula muncul tanpa dukungan isnad pada sekitar
perputaran abad ke 1H / 7 M. Suatu sistem dengan perkembangan tinggi yang
memliki dua komponen, teks dan isnad, tidak mungkin mendadak muncul begitu saja
di tengah-tengah arena tanpa masa perkembangan sebelumnya, di mana ia tidak
hanya mengalami perkembangan teknis saja, melainkan juga perluasan materi.
Sungguh suatu hadis yang tidak resmi (disebarkan secara formal) dapat diduga
telah ada pada masa hidup Nabi sendiri, di mana nabi merupakan sumber pedoman
masyarakat muslim saat itu. Adalah sesuatu yang wajar bahwa pada masa hidup
nabi orang-orang membicarakan tentang apa yang dikatakan atau dilakukan beliau
sebagaimana mereka berbicara tentang halhal keseharian mereka.[20]
Orang-orang Arab
tidak mungkin lengah untuk menyampaikan kembali perbuatan-perbuatan atau ucapan
dari seseorang yang mereka akui sebagai Rasul Allah, mengingat mereka memiliki
karakter suka menghafal dan menyampaikan sya’ir-sya’ir dari para penyair
mereka, ramalan-ramalan dari para para peramal mereka, pernyataan-pernyataan
dari para hakim dan pemimpin mereka. Menolak fenomena yang wajar ini adalah sebuah
sikap yang sangat tidak masuk akal dan mengingkari sejarah. Sunnah baru (sunnah
Nabi) ini bagi mereka terlampau penting.[21] Mengingat juga posisi Nabi
sebagai teladan bagi mereka, hanya saja penyebaran pada masa ini masih bersifat
informal.
Setelah Nabi
wafat, penyebaran hadis Nabi berubah dari kondisi informal menuju penyebaran
yang bersifat semi-formal. Pada saat ini, fenomena hadis berubah menjadi suatu
kesengajaan karena tuntutan dari generasi yang bangkit menanyakan perihal
prilaku Nabi. Hadis adalah sarana penyebaran sunnah Nabi yang mempunyai tujuan
praktis, yakni suatu yang dapat menciptakan dan dapat dikembangkan menjadi
suatu parktik aktual di masyarakat muslim. Oleh karena itu, hadis secara bebas
ditafsirkan oleh penguasa dan hakim sesuai dengan situasi yang mereka hadapi,
dan terciptalah apa yang disbeut sebagai sunnah yang hidup.[22]
Gerakan
yang mengatasnamakan keseragaman ini tidak sabar terhadap proses ijma’
yang lamban. Mereka menawarkan hadis sebagai substitusinya. Para ahli hadis,
sebagai pelaku utama, melancarkan kampanye besar-besaran dan masal untuk
menstandarisasikan sunnah yang hidup dan mencoba melakukan kodifikasi
prakstik-praktik yang sesuai dengan model Nabi, serta menolak
penafsiran-penafsiran yang ekstrem terhadap dogma-dogma hukum tertentu. Pada pertengahan
abad kedua, gerakan hadis sudah cukup banyak memperoleh kemajuan. Meskipun
hampir semua hadis yang ada masih dinyatakan tidak bersumber dari Nabi, yakni
bersumber dari para sahabat dan tabi’in, sebagian dari pendapat-pendapat di
bidang hukum dan pandangan dogmatis kaum muslim pada masa lampau mulai
diproyeksikan kepada Nabi Muhammad.[23]
2. Hermeneutika
Hadis Fazlur Rahman
Kaum modernis
harus sadar bahwa walupun sebagian hadis tidak mewakili ajaran Nabi yang verbal
dan murni, namun ia tetap masih memiliki hubungan dengan nabi dan terutama
sekali mencerminkan perkembangan yang paling awal dari pemhaman masyarakat
muslim akan ajaran tersebut.[24] Menurut Rahman, pendapat
yang menyatakan bahwa al-Qur’an diajarkan tanpa menyinggung aktivitas-aktivitas
Nabi Muhammad adalah pendapat yang irasional. Aktivitas-aktivitas ini merupakan
latar belakang yang sangat penting, baik dalam bidang politik, kepemimpinan,
pengambilan keputusan, dan lain-lain. tidak ada yang dapat memberikan pertalian
logis menganai pengajaran al-Qur’an, melainkan pengetahuan mengenai kehidupan
aktual Nabi dan pada zamannya.[25]
Selain itu,
bersamaan dengan kebutuhan yang nyata akan vitalitas baru dan interpretasi yang
segar terhadap hadis, para pengawal tardisi ortodoks selama ini masih
menunjukkan sikap konservatifnya yang tak kenal kompromi dan tidak ada usaha
untuk menilai situasi yang baru sekarang ini ataupun perkembangan hadis yang aktual
pada masa lalu. Karena itu diperlukan saat ini adalahsebuah penafsiran historis
terhadap hadis dalam rangka mengembalikan hadis ke dalam konteks sunnah yang
hidup. Rahman menyatakan sebagai berikut:
What we want now to do is
recast hadith in to living sunnah term by historical interpretation so that we
may be able to derive norms from it for ourselves through an adequate ethical
theory and its legal reembodient.[26]
Apa yang sekarang ini kita lakukan adala menuangkan
kembali hadis ke dalam istilah-istilah sunnah yang hidup melalui penafsiran
historis sehingga kita dapat mengambil norma-norma darinya untukdiri kita
sendiri memalalui teori etika yang memadai dan mewujudkan kembali nilai
hukumnya.
Atas dasar
fakta historis tentang adanya evolusi sunnah, evolusi hadis dan evolusi sunnah
dalam bentuk hadis tersebut, Rahman menghendaki adanya upaya penuangan kembali
hadis-hadis Nabi dalam bentuk living sunnah yang bersifat dinamis dan
mampu mengadaptasi hal-hal baru dan segar yang terjadi dalam masyarakat muslim
kontemporer. Upaya ini dalam istilah teknisnya disebut Rahman sebagai
reevaluasi dan reinterpretasi terhadap unsur-unsur yang berbeda dalam hadis
Nabi. Reevaluasi dilakukan dengan cara mengembalikan hadis menjadi sunnah yang
sejak semula memang menjadi sumber hadis-dan melakukan penafsiran situasional.
Penafsiran situasional ini dilakukan dengan menghidupkan kembali norma-norma
yang dapat kita terapkan untuk saat ini.[27] Yaitu dengan
membangkitkan kembali nilai moral dan riil dari latar belakang situasional
hadis bersangkutan menurut perspektif historisnya yang tepat dan menurut
fungsinya yang benar dalam konteks historisnya. Bahkan lebih jauh lagi Rahman
menyatakan bahwa fenomena kontemporer (jika perlu) diproyeksikan kembali ke
dalam bentuk hadis agar kaum muslimin dapat ditempa menurut pola spiritual,
politik, dan soial tertentu.[28] Hal ini tidak lain
dimaksudkan untuk mengendorkan sifat formalisme hadis dan melanjutkan
perjuangan dari titik di mana sunnah secara sukarela melebur diri ke dalam
hadis.[29]
Maka
Rahman membagi hadis menjadi dua:
a. Hadis-hadis
yang bersifat historis dan biografis, yaitu hadis yang mencerminkan kandungan
hitoris sunnah Nabi. Hadis-hadis mengenai shalat, zakat, dan haji termasuk tata
cara pelaksanaannya secara detail adalah jelas-jelas terkait dengan Nabi
sehingga orang-orang yang tidak jujur dan tidak waras sajalah yang
menyangkalnya.[30]
b. Hadis-hadis
yang sebagian besar tidak bersifat historis. Yaitu hadis yang tidak bersumber
dari Nabi tetapi tetap dipandang memiliki nilai normatif dalam pengertian
dasar. Lalu Rahman menjelskan:
1) Hadis-hadis
teknis secara garis besarnya tidak bersifat historis dalam
formulasi-formulasinya yang aktual, sebagaimana terlihat dalam hadis-hadis
prediktif dan hadis-hadis fundamental (hadis-hadis yang berkepentingan dalam
metodologi Islam, yakni hadis-hadis yang menjelaskan perkembangan fundamental
selama periode klasik-formatif da menjelaskan terbentuknya ortodoksi/sunisme),
khususnya hadis-hadis tentang ijma’. Bukti-bukti validitas hadis darinya
haruis diteliti secara tersendiri berdasarkan fakta-fakta sejarah.
2) Hal di atas
(tesis mengenai ketidakhistorisan hadis-hadis teknis) mengantarkan bahwa
hadis-hadis adalah bentuk persekongkolan besar-besaran yang dilakukan oleh ahli
hadis. namun harus ditegaskan bahwa hadis-hadis tersebut adalah representasi
dari spirit ajaran nabi yang ditafsirkan, karena hadis adalah representasi dari
sunnah yang hidup (living sunnah).
3) Walaupun tidak
sesungguhnya bersifat historis, hadis tidak terpisah dari sunnah Nabi, karena
hadis adalah refleksi verbal dari sunnah yang hidup. Sunnah yang hidup ini
bersumber dari generasi Muslim pada awal sejarah Islam (yaitu paara hakim, ahli
hokum, teoritisi dan politisi) yang menjelaskan dan menafsirkan teladan
(sunnah) Nabi demi kepentingan kaum Muslim sebagai sebuah praktik yang
disepakati bersama. Oleh karena itu, melalui aktivitas ijtihad dan ijma’
yang kontinu, dalam sunnah yang hidup selain berisi teadan Nabi yang
bersifat umum, juga terdapat penafsiran-penafsiran regional terhadap teladan Nabi
tersebut. Itulah sebabnya dalam sunnah yang hidup terdapat perbedaan. Hal yang
sama juga dapat ditemukan dalam hadis, karena hadis adalah cermin sunnah yang
hidup, di mana keanekaragaman pandangan-pandangan yang berbeda di dalam hadis
ditemukan di hampir setiap masalah. Perbedaan mendasar antara sunnah yang hidup
dan hadis adalah jika sunnah yang hidup merupakan proses yang hidup dan
berkelanjutan, maka hadis bersifat formal dan berusaha memberikan kepermanenan
mutlak terhadap sintesa sunnah yang hidup pada abad pertama, kedua dan ketiga
Hijriyyah sebagai sebuah tuntutan zaman saat itu. Oleh karena itu, mengendorkan
kemutlakan dan formalisme hadis sangat diperlukan untuk menghadapi problematika
sekarang.
4) Walaupun
landasan utama hadis adalah uswah nabi, hadis tetap mewakili karya-karya
generasi awal mengenai uswah tersebut. Faktanya, hadis memang merupakan
keseluruhan ungkapan nyata (aphorism) yang diformulasikan dan dihasilkan
oleh kaum muslim yang seoalh-olah berkaitan dengan Nabi. Sikap yang sangat aphoristic
ini menunjukkan bahwa hadis tidaklah bersifat historis. Oleh karena itu, hadis
lebih tepat dikatakan sebagai suatu komentar monumental dan besar-besaran
mengenai Nabi oleh umat. Dengan demikian, meskipun disandarkan atas nabi, hadis
juga sebagai sebuah simbol kebijaksanaan umat muslim klasik.[31]
Kemudian Rahman menyatakan:
But our argument does involve a reversal of the
traditional pivture on one salient point in that we are putting more reliance
on pure history than hadith and are seeking to judge the latter partly in the
light of the former (partly because there is also al-Qur’an) whereas
thetraditional picture us the other way around.[32]
Akan
tetapi argumen kami benar-benar melibatkan suatu gambaran yang kontradiktif
dari gambaran tradisional pada satu titik penting bahwa kami lebih mempercayai
sejarah murni daripada hadis dan berusaha memberikan penilaian terhadap hadis
sebagian berdasarkan sejarah murni (sebagian juga karena adanya al-Qur’an)
mengingat gambaran tradisional adalah rentetan jalan yang berbeda.
Meskipun
Rahman hanya menggunakan sejarah murni dan al-Qur’an sebagai acuan utamanya
dalam melakukan reevaluasi dan reinterpretasi terhadap hadis-hadis teknis, ia
tetap tidak mengingkari bahwa sesungguhnya hadis-hadis historis atau biografis
dalam segi-segi utamanya sangat jelas dan dapat dipergunakan sebagai landasan
untuk menafsrkan hadis hadis teknis yang sebagian besar tidak bersumber dari Nabi.[33]
Begitu
juga yang menyangkut masalah isna>d sebagai tolok ukur validitas sutau
hadis oleh mayoritas umat Islam yang tidak digunakan Rahman sebagai bukti-bukti
bagi validitas hadis. bagi Rahman, isna>d tetap dipandang penting,
karena faktanya isna>d telah melahirkan literatur-literatur yang
mengandung informasi biogarfis yang benar dan meruapakan sebuah prestasi Islam
yang unik. Di samping itu juga telah meminimalkan pemalsuan-pemalsuan terhadap
hadis. namun demikian, isnad tidak tidak dapat dijadikan argumentasi yang
bersifat positif dan final. Betapa pun pembawa berita”A” dipercayai terbukti
benar-benar telah bertemu “B” yang umumnya juga dianggap dapat dipercaya
(walaupun sulit dibuktikan), hal ini bukanlah merupakan bukti bahwa hadis
bersangkutan telah disampaikan oleh “B” kepada “A”, terlebih lagi isnad muncul
dan berkembang di belakang hari, yaitu menjelang akhir abad pertama Hijriyah.[34]
D. Genealogi
Hermeneutika Hadis Fazlur Rahman
Menurut Rahman, telaah historis dalam pemahaman hadis
adalah jalan yang amat penting untuk membaca hadis, lalu bagaimana persoalan
mengenai objektivitas sejarah? Sekiranya segala penafsiran terhadap objek
sejarah itu tidak terlepas dari subjektivitas seorang pembaca, untuk
selanjutnya, mampu kah seseorang mempertahankan kaidah sosio-historis yang
dikatakan dapat menangkap makna sebenarnya yang ingin disampaikan oleh teks?
Dalam menghadapi pertanyaan ini, Rahman tampaknya
tidak menjelaskan secara clear dan detail melaikan hanya merujuk pada
perdebatan antara dua mazhab hermeneutika, yaitu antara Emillio Betti (sebegai
pendukung teori objektivitas sejarah) dan Hans George Gadamer (pendukung teori
subjektivitas sejarah).
Rahman kelihatan berpihak pada teori usulan Betti
karena model tafsir yang diajukannya berpegang pada asumsi adanya objektivitas
dalam kajian sesuatu objek yang wujud dalam sejarah (atau mungkin bisa disebut
sebagai studi terhadap tradisi). Keberpihakannya pada teori Betti sekaligus
meletakkannya dalam posisi bertentangan dengan Hans George Gadamer. Gadamer
berpendapat bahwa “The recognition that all understandings inevibillity
involves some prejudice gives the hermeneutical problem, its real trust.[35]
Sementara itu, Fazlur Rahman, sebagaimana Emilio
Betti, mengkritik pendapat Gadamer yang jelas memposisikan setiap pemahaman
sebagai subjektif. Rahman menulis:
Every critique
or modification of a tradition involves a consciousness of what is being
criticized or rejected and hence, to that extent, self-awarness, in view of the
revolutionary changes wrought by some men in their tradition, it is therefore
not proper to say that their responses were predetermined, and primarily by
their effective histories. What seems reasonable to hold is that all conscious
responses to the past involve two moments that must be distinguished. One is
the objective ascertaining of the past (-which Gadamer does not allow), which
is possible in principle provide requisite evidence is available; the other of
the response itself, which necessarily involves values and which is determined
(not predetermined) by my present situation, which effective history is a part
but of which my conscious effort and self-aware activity also constitute an
important part. For Gadamer these two moments are utterly insparable and
indistinguishable.[36]
Setiap kritik atau modifikasi tradisi melibatkan kesadaran tentang apa yang dikritik atau ditolak dan karenanya, sejauh itu, self-awarness (kesadaran diri), mengingat perubahan revolusioner yang ditimbulkan oleh beberapa orang dalam tradisi mereka, karena itu tidak tepat untuk mengatakan bahwa tanggapan mereka yang telah ditentukan, dan terutama oleh sejarah mereka efektif. Apa yang tampaknya masuk akal untuk dipegang adalah bahwa semua kesadaran masa lalu melibatkan dua momen yang harus dibedakan. Salah satunya adalah : memastikan tujuan masa lalu (-yang oleh Gadamer ditolaknya), yang mungkin pada prinsipnya memberikan bukti yang jika diperlukan itu tersedia; yang lain dari respon itu sendiri, yang tentu melibatkan nilai-nilai dan yang ditentukan (bukan tidak ditentukan) oleh situasi yang saya hadirkan sekarang. Sejarah yang efektif merupakan bagian tapi yang usaha sadar dan aktivitas sadar diri juga merupakan bagian penting . Untuk Gadamer dua momen ini benar-benar tidak dapat ditolak dan dibedakan.
Dengan pemahaman hermeneutika seperti ini, proses
mempersoalkan tradisi dan merubah tradisi demi menjaga dan melestarikan
pesan-pesan normatif dapat belangsung terus menerus di dalam bingkai historis.[37] Oleh karena itu, Rahman
tidak terpaku pada pemahaman literal teks karena teks itu terbatas pada ruang
dan waktu tertentu, yang tidak terbatas adalah pesan-pesan normatifnya. Inilah
yang membuat Rahman berani merekonstruksi sebagian besar pemikiran tradisi di
masyarakat yang telah mapan ditancapkan oleh kaum ortodoks.
E. Aplikasi Teori
Pemahaman Hadis ala Fazlur Rahman
Dalam bukunya Islamic Methodology in History Rahman mencontohkan
bagaimana aplikasi pemahaman hadis Nabi dari konsep yang telah ia kemukakan.
مَا مِنْ عَبْدٍ قََالَ لَا إَلهَ إلَّا
اللّهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذلِكَ إِلَّا
دَخَلَ الْجَنَّةَ قُلْتُ وَ إِنْ زَنَى وَ إِنْ سَرَقَ قَالَ وَ إِنْ زَنَى وَ
إِنْ سَرَقَ قُلْتُ وَ إِنْ زَنَى وَ إِنْ سَرَقَ قَالَ وَ إِنْ زَنَى وَ إِنْ
سَرَقَ قُلْتُ وَ إِنْ زَنَى وَ إِنْ سَرَقَ قَالَ وَ إِنْ زَنَى وَ إِنْ سَرَقَ
عَلى رَغْمِ أَنْفِ أَبِي ذَرٍّ (متفق عليه)[38]
“Tiada
seorang pun yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (kemudian mati
dalam keadaan seperti itu), melainkan ia masuk surga. Aku (Abu Z#ar) bertanya:
meskipun ia telah berzina dan mencuri? Nabi Menjawab: meskipun ia telah berzina
dan mencuri. Aku (Abu Z#ar) bertanya (lagi): meskipun ia telah berzina dan
mencuri? Nabi Menjawab: meskipun ia telah berzina dan mencuri. Aku (Abu Z#ar)
bertanya (lagi): meskipun ia telah berzina dan mencuri? Nabi menjawab: meskipun
ia telah berzina dan mencuri, sambil menambahkan walaupun hidung Abu Z#ar harus
mencium tanah”.
إِذَ زَنَى الْعَبْدُ خَرَجَ مِنْهُ الْإِيْمَانُ فَكَانَ فَوْقَ رَأْسِهِ
كَالظُّلَّةِ فَإِذَا خَرَجَ مِنْ ذلِكَ الْعَمَلِ عَادَ إِلَيْهِ الْإِيْمَانُ
(رواه الترميذ و أبو داود)[39]
Ketika
seseorang melakukan perzinaan, maka imannya telah keluar darinya dan di atas
kepalanya ada semacam atap/pelindung. Kemudian ketika dia meninggalkan
perbuatan tersebut, maka iman kembali (lagi) kepadanya.
عَنْ أَبِى عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلعم قَالَ لَا يَزْنِى الزَّانى حِيْنَ
يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِكُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ
مُؤْمِنٌ (متفق عليه)
Dari
Ibnu Abbas RA, dia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda, Seorang pezina tidak
akan berzina hingga ia benar-benar berzina, sementara ia berada dalam keadaan
beriman. Dan seorang pencuri tidak akan mencuri hingga ia benar-benar mencuri,
sementara ia dalam keadaan beriman.
Tidak diragukan lagi, menurut Rahman, bahwa formula
yang disahihkan dalam ketiga hadis tersebut adalah mula-mula dimaksudkan untuk
memberikan sebuah definisi hukum mengenai seorang Muslim dan menyelamatkan kaum
Muslim dari perang-perang saudara yang bersifat dogmatis.[40] Yang dirasa akan
mengancam struktur masyarakat Muslim, khusunya dalam ranah moral-teologis.
Persoalan umat Muslim pada saat itu adalah batasan seseorang yang dapat
dikatakan sebagai Muslim atau Mukmin; dan dapatkah seorang Muslim yang telah
melakukan dosa besar tetap dipandang sebagai seorang Muslim. Bagi kelompok Khawarij,
orang demikian tidak dapat dikelompokkan sebagai seorang Muslim atau Mukmin,
melainkan sudah disebut Kafir. Bahkan, terhadap orang-orang yang tidak
memandang Kafir terhadap orang tersebut pun dipandang oleh kelompok ini sebagai
Kafir pula. Kelompok ini pun kemudian menyerukan jihad untuk menantantang orang-orang
yang tidak sepaham dengan mereka. Sementara itu, sebagai respon terhadap
kelompok Khawarij, muncul kelompok Murji’ah yang mengajarkan dotrin bahwa
seseorang yang mengaku Muslim tidak dapat dinayatakan Kafir hanya karena
berdasarkan perbuatan-perbuatan yang dilaksanakannya. Keyakinan yang ada di
batin seseorang yang telah mengaku Muslim harus diserahkan kepada Allah untuk
diadili oleh-Nya kelak di akhirat.[41]
Oleh
karena itu, untuk menyelamatkan umat dari pertentangan-pertentangan dogmatis
dalam wilayah moral-teologis tersebut, definisi mengenai seorang Muslim atau Mukmin
harus diformulasikan. Hafdis yang pertama, meskipun sejalan dengan pandangan
kelompok Murji’ah, diciptakan untuk memberikan batasan bahwa seseorang yang
telah mengikrarkan bahwa tidak ada tuhan selain Allah tetap masuk surga,
walaupun telah berzina dan mencuri. Sementara itu hadis kedua dan ketiga
tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mungkin akan mengalami kegoncangan
moral berkaitan dengan isi dari hadis yang pertama, yakni bagaimana seorang
yang telah melakukan perbuatan zina dan mencuri tetap dipandang sebagai seorang
Muslim yang baik. Melalui hadis kedua dan ketiga tersebut dijelaskan bahwa
ketika seseorang sedang berzina atau mencuri, maka pada saat itu imannya sedang
keluar darinya.[42]
F. Kesimpulan
Bangunan konsep atau teori hermeneutika hadis Rahman adalah perlunya
reevaluasi terhadap aneka ragam unsur di dalam hadis dan reinterpretasi yang
komprehensif dan holistik terhadap unsur-unsur tersebut sesuai dengan kondisi
moral-sosial yang telah berubah pada masa kini. Hal ini dapat dilakukan dengan
suatu studi historis terhadap hadis, yakni dengan mengubahnya menjadi sunnah
yang hidup dan secara tegas membedakan nilai yang riil yang dikandungnya dari
latar belakang situasionalnya. Oleh Karena itu harus dibedakan antara
hadis-hadis yang bersifat historis dan biografis, yakni hadis-hadis yang
didukung oleh fakta sejarah, dari hadis-hadis teknis yang sebagian besar tidak
bersifat historis, hadis-hadis yang tidak didukung oleh validitas fakta
sejarahnya. Serta menggunakan acuan al-Qur’an.
G. Daftar Pustaka
Al-A’la, Abd, dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal;
Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina,
2003.
Amal, Taufik Adnan, Fazlur
Rahman dan Usaha-usaha Neo-Modernisme Islam Dewasa ini”, dalam Fazlur Rahman,
Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, cet.I, Taufik Adnan Amal
(peny), Bandung: Mizan, 1987.
Amal, Taufik
Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, Bandung: Mizan, 1994.
Aminuddin, M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut
Fazlur Rahman, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Esposito, John El, (ed),
“Fazlur Rahman” dalam The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World,
Vol. 3, New York: Oxford University Press, 1995.
Gadamer, Hans
George, Truth and Method, London and Newyork: Continuum, 2004.
Hidayatullah, Syarif, Intelektualisme
dalam Perspektif Neo-Modernisme, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Rahman, Fazlur, Gelombang
Perubahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam, Jakarta:
Rajawali Grafindo Persada, 2001.
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung:
Pustaka, 2000.
Fazlur Rahman, Islam
and Modernity, Chicago and London: University of Chicago Press, 1982.
Rahman, Fazlur, Islamic
Methodology in History , Islamabad,
Islamic Research Institute’s, 1965.
[1] Taufiq Adnan
Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman (Bandung: Mizan, 1994), h. 39-40
[2] Nama
isteri Fazlur Rahman didapatkan dari catatan Ebrahim Moosa sebagai editor buku Revival
and Reform in Islam. Lihat Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam
Islam: Stud tentang Fundamentalisme Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo
Persada, 2001), hlm. V.
[3] M. Hasbi
Aminuddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta: UII
Press, 2000), hlm. 9
[4] John El
Esposito (ed), “Fazlur Rahman” dalam The Oxford Encyclopedia of The Modern
Islamic World, Vol. 3 (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 408
[5] Syarif
Hidayatullah, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 15
[6] Abd.
Al-A’la, dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 34
[10] Taufik
Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neo-Modernisme Islam Dewasa ini”,
dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, cet.I,
Taufik Adnan Amal (peny), (Bandung: Mizan, 1987), hal. 13.
[11] Taufik
Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neo-Modernisme Islam Dewasa ini”,
dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, cet.I,
Taufik Adnan Amal (peny), hlm. 14
[12] Hal ini
bisa dilihat langsung dalam karyanya Islam. Dalam karya itu ia
menyatakan: Bagi al-Qur’an sendiri, dan konsekuensinya juga bagi kaum Muslimin,
al-Qur’an adalah firman Tuhan (kalam Allah). Nabi Muhammad juga betul-betul
yakin bahwa beliau adalah penerima pesan dari Allah, Zat yang sama sekali lain
(kita akan segera mencoba mengungkapkan dengan istilah tepat dari arti sifat
yang sama sekali lain itu), sedemikain rupa hingga ia menolak, dengan kekuatan
kesadaran ini, sebagian dari klaim-klaim historis yang paling fundamental dari
tardisi Judea-Kristiani tentang Ibrahim dan nabi yang lain. Fazlur Rahman, Islam,
terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 32
[13] Abd.
Al-A’la, dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia, hlm. 20
[16] Fazlur
Rahman, Islamic Methodology in History (Islamabad, Islamic
Research Institute’s, 1965), hlm. 1-2
[35] Hans George Gadamer, Truth
and Method (London and Newyork: Continuum, 2004), hlm. 272
[36] Fazlur Rahman, Islam and
Modernity (Chicago and London:
University of Chicago Press, 1982), hlm. 10
[37] Fazlur Rahman, Islam and
Modernity, hlm. 11
[40]Fazlur Rahman, Islamic Methodologyin History,
hlm. 89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar