Alma'arif

Selasa, 04 November 2014

HERMENEUTIKA HADIS ALA FAZLURRAHMAN



HERMENEUTIKA HADIS ALA FAZLUR RAHMAN

Alma’arif
1320510013

Abstract




Fazlur Rahman was a very famous Islamic reformer. He was from Pakistan who previuosly had no contemporary thinkers such as Ahmad Khan dan Sayyid Amir Ali and M. Iqbal. Rahman was included on to neo-modernist. He mastered turath and human sciences in Islamic studies. On the understanding of hadith, Rahman made a concept that need for reevaluation of the diverse elements in the hadith and reinterpretation of a comprehensive and holistic to the elements in accordance with moral – sicial conditions in the present. This can be done with historical studies and the Qur’an as a reference. It must distinguish between the traditions of the historical and biography, that the traditions are supported by the facts of history, from technical traditions largely historical, the traditions that are not supported by historical facts validity.


A.  Pendahuluan
Bermula dari kegelisahan paling mendasar dari seorang intelektual neo-modernis, Fazlur Rahman, yang pasti juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu kondisi di mana kaum Muslim telah menutup rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa. Rahman merasakan situasi ini sangat tidak kondusif untuk mengetengahkan Islam sebagai agama alternatif di tengah gelombang perubahan zaman yang kian dinamis.
Tertutupnya pintu ijtiha>d telah mematikan kreatifitas intelektual umat yang pada awal-awal sejarah umat Islam tumbuh begitu luar biasa. Pada akhirnya Islam menjadi seperangkat doktrin yang beku dan tentu sulit untuk tampil memberi jawaban-jawaban atas problem keummatan di tengah gelombang modernitas. Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada kebutuhan terhadap taqli>d, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la> kaifa terhjadap doktrin mazhab-mazhab dan otoritas-otoritas yang telah mapan. Dalam memberlakukan sumber ajaran Islam–al-Qur’an dan Sunnah Nabi – umat Islam mengembangkan suatu sikap yang kaku lewat pendekatan-pendekatan ahistoris, literalistis dan atomistis.
Situasi seperti itu segera memancing reaksi dari para pembaharu Muslim untuk melakukan langkah-langkah “penyelamatan” terhadap ajaran Islam yang kian keropos oleh sejarah. Akan tetapi–sebagaimana disaksikan oleh Fazlur Rahman -, mereka dalam melakukan pembaharuan umumnya metode yang digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq. Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory. Memungut fragmen-fragmen opini masa lampau yang terisolasi – tanpa mempertimbangkan latar kesejarahannya–kemudian menyusunnya ke dalam sejenis mosaik yang tidak semena-mena dengan menyelundupkan di bawah permukaannya sebagai struktur ide yang dipinjam dari Barat–tanpa mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensi – jelas merupakan pembaharuan yang artifisial dan tidak realistis. Itulah sebabnya, seorang Josept Schacht menegaskan : “Yurispridensi dan legislasi Islam kaum modernis, agar dapat bersifat logis dan permanen, tengah membutuhkan suatu basis teoritis yang lebih tegar dan konsisten.[1]
Studi Fazlur Rahman mengenai hadis memiliki arti yang sangat urgen terhadap pembaharuan pemikiran Islam, khususnya sumbangannya dalam bidang metode dan pendekatan. Pendekatan historis yang ia tawarkan adalah kontribusi yang sangat positif terhadap studi hadis yang selama ini disibukkan dengan persoalan kritik sanad, yang menurut ia, walaupun hal itu memberikan informasi biografis yang kaya dan unik, tetapi hal itu belum bisa dikatakan sebagai hal yang final. Umat Islam dewasa ini membutuhkan upaya metodologis untuk  mencairkan kembali hadis-hadis yang ada dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah), ide moral, dan legal spesifik.
Dalam tulisan ringkas ini mencoba menjelaskan mengenai pemikiran Fazlur Rahman mengenai hadis. Dalam membahas pemikirannya mengenai hadis, maka point-point yang dikaji adalah mengenai perjalanan intelektualnya dan kondisi sosio-historis yang melingkupinya, pandangannya mengenai sunnah dan hadis, hermeneutika mengenai hadis menurut pandangannya, genealogi keilmuwannya, dan aplikasi pemahamannya. Point akhir dari tulisan ini adalah kesimpulan.

B.   Sketsa Perjalanan Intelektual Fazlur Rahman

Fazlur Rahman (1919-1988) berasal dari keluarga ulama Mazhab Hanafi. Sebuah Mazhab Sunni yang mempunyai watak liberal dengan mengandalkan peran akal. Fazlur Rahman lahir pada 21 September 1919 di distrik Hazara ketika India belum pecah menjadi dua negara. Daerah tersebut terletak di sebelah Barat laut Pakistan. Ayahnya, Maulana Shahab al-Di>n adalah seorang ulama’ terkenal lulusan Deoband. Keluarganya dikenal sebagai kalangan alim yang termasuk tekun dalam menjalankan ibadah agama. Ibadah sehari-hari dijalankan teratur dan tepat waktu, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. ini sebagai bukti bahwa kondisi keluarganya termasuk Sunni dan masih memegang teguh tradisi. Ia menikah dengan Ny. Bilqis Rahman.[2]
Ia telah menghafal ayat-ayat al-Qur’an sebanyak 30 juz semenjak usia 10 tahun. Kendatipun kondisi keluarga masih berkutat pada bentuk tradisi, namun prilaku kekeluargaan yang sangat akomodatif terhadap unsur modernitas. Ayahnya sangat menghargai pendidikan modern. Sehingga dari dorongan ayahnya itu lah yang benayak mempengaruhi pemikiran Fazlur Rahman di kemudian hari.[3]
Bagi John El Esposito, Fazlur Rahman mauk kategori tokoh liberal.[4] Pola pikir liberal yang dikembangkan Fazlur Rahman banyak dipengaruhi oleh pendahulunya. Di Pakistan lebih berkembang pemikiran yang agak liberal seperti yang dikembangkan oleh Syaikh Waliyullah, Sayyid Ahmad Khan, Sir Sayyid Amir Ali, dan Muhammad Iqbal. Sehingga tidak kaget ia memberanikan diri untuk mencoba menunjukkan liberalisme Islam tetapi tetap dengan frame al-Qur’an.
Secara ringkas, perjalanan intelektual Fazlur Rahman sebagai berikut:

1.      Pada usia 14 tahun atau sekitar tahun 1933 Fazlur Rahman dibawa ke Lahore-tempat tinggal leluhurnya dan memasuki sekolah modern. Sekolah ini didirikan oleh Muhammad Qasim Natawi pada 1867.[5] Semangat muda Rahman mengantarkan ia gemar belajar filsafat, Bahasa Arab, Teologi, hadis, tafsir pada usia 14 tahun. Lebih dari itu, karir intelektualnya ditingkatkan dengan penguasaan berbagai bahasa yaitu Persia, Urdu, Inggris, Perancis dan Jerman. Bahasa Eropa kuno pun yaitu Latin dan Yunani ia dalami sebagai pengetahua yang workable.[6]

2.      Pada tahun 1940, ia menyelesaikan pendidkan akademiknya dengan gelar Bachelor of Art (BA) dalam bidang Bahasa Arab pada Punjab University Lahore. Tahun 1942, Gelar Master (MA) berhasil diperolehnya dari univeritas yang sama.[7]
3.      Tahun 1946 di usianya yang ke 27 Fazlur Rahman berangkat studi doktoral di Oxford Inggris. Disertasi yang ia angkat adalah tentang Ibnu Sina di bawah bimbingan Van Den Bergh dan H.A.R. Gibb. Gelar Ph.D (Philosphy Doctor) berhasil ia raih pada tahun 1949. Rahman melanjutkan ke barat karena dalam pandangannya mutu pendidikan tinggi Islam di India ketika itu sangat rendah.[8]

Setelah ia menerima gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) dari Oxford University, Rahman tidak langsung pulang ke Pakistan yang baru saja merdeka beberapa tahun dan telah memisahkan diri dari India. Ia masih merasa cemas dengan keadaan negerinya yang masih terlalu sulit menerima kehadiran putra bangsa yang menjadi sarjana keislaman hasil didikan Barat. Maka, untuk beberapa tahun dia memilih mengabdikan dirinya dengan mengajar di Universitas Durham Ingris, dan kemudian pindah ke Universitas McGill, Motreal, Kanada. Dari lembaga ini kemudian didirikan Institute of Islamic Studies yang dirintis oleh Wilfred Cantwell Smith. Selanjutnya lembaga ini menjadi popular hingga sekarang sebagai sebuah institute pengakajian Islam di Barat.[9]
Namun sekitar tahun 1960-an Fazlur Rahman kembali ke Pakistan untuk menjadi staf senior sebuah lembaga penelitian di Karachi bernama Institute of Islamic Research.[10] Selain menjabat sebagai direktur Institute of Islamic Research, pada tahun 1964, Fazlur Rahman diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan. Kedua lembaga ini mempunyai hubungan kerja yang sangat erat karena data dan bahan yang digunakan sebagai rancangan undang-undang diminta Dewan Penasehat dari hasil penelitian lembaga riset.[11]

Pemikiran Fazlur Rahman yang dianggap menyimpang adalah seputar Sunnah dan hadis, riba dan bunga bank, zakat dan fatwa kehalalan penyembelihan binatang secara mekanis. Pemikiran ini menjadi kontroversial berskala nasioanal Pakistan. Puncak kemarahan kepada Fazlur Rahman adalah ketidaksepakatannya terhadap karya monumentalnya, Islam. Buku yang ditulis pada tahun 1966 berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu dan dilaunchingkan pada September 1967 di jurnal lokal Fikr-u Nazir. Dalam buku itu Fazlur Rahman menyatakan bahwa: al-Qur’an secara keseluruhan adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya merupakan perkataan Muhammad.[12]

Di tengah situasi yang  tidak kondusif tersebut dan Rahman mengundurkan diri Dari jabatannya di Pakistan, Rahman mendapatkan tawaran dari Universitas California, Los Angeles untuk mengajar. Pada tahun 1968, ia bersama keluarga memutuskan untuk hijrah ke sana kemudian pada tahun 1969, ia mengajar di Universitas Chicago dan diangkat menjadi  Guru Besar pemikiran Islam di Universitas tersebut. Maka ia meneruskan karirnya dengan hijrah ke luar negeri. Ia memilih untuk hidup kembali di dunia barat, tepatnya di Chicago sejak tahun 1968 hingga akhir hayatnya.[13]

C.   Konsep Hermeneutika Hadis ala Fazlurr Rahman

1.      Konsep Sunnah dan Hadis

Berdasarkan beberapa literature leksikografi (kamus bahasa) seperti lisa>n al-‘Arab karya Ibnu Manz}u>r, Jamharah (al-Lugah) karya Ibnu Duraid) dan Taj al-‘Arusy karya al-Zabidi, Rahman mendefinisikan Sunnah sebagai sebuah bangunan konseptual. Pentingnya memahami sunnah sebagai sebuah konsep adalah terkait dengan pemhaman kita terhadap perkembangan hadis, atau setidak-tidaknya selama Islam zaman pertengahan di mana kata tersebut (selalu) diidentikkan dengan norma-norma praktis atau model tingkah laku yang terkandung dalam hadis.[14]
Sebagaimana dalam karya Islam, menurut Rahman, secara etimologis kata sunnah berarti jalan yang telah ditempuh dan dipergunakan oleh orang-orang Arab sebelum Islam untuk tujuan model tingkah laku yang telah ditentukan oleh nenek moyang suatu suku. Konsep sunnah dalam konteks tersebut mempunyai dua bagian arti: (a) sebuah fakta historis mengenai tingkah laku, dan (b) Kenormatifannya bagi generasi sesudahnya. Dengan pengertian seperti inilah al-Qur’an menggunakan kata sunnah untuk menggambarkan para penentang Islam sebagai pendukung teladan prilaku nenek moyang mereka yang bertentangan dengan ajaran baru yang dibawa Islam [misalnya Q.S. 8: 38, 15:13 dan 36:69]. Al-Qur’an juga berbicara tentang sunnah Allah, yaitu ketentuan Allah dengan pola nasib masyarakat-masyarakat manusia-suatu ketentuan yang tidak dapat diubah [Q.S. 33:62, 35:43, 42:23 dan 17:77]. Di sini juga ditemukan dua bagian arti, yaitu ketentuan yang telah lampau (dalam hal ini ketentuan dari satu wujud saja) yang mesti di sini akan berlaku di masa yang akan datang.[15]
Oleh karena itu, Rahman menyatakan bahwa sunnah adalah sebuah konsep prilaku, yakni sebuah hukum tingkah laku yang diterapkan untuk tindakan-tindakan fisik ataupan mental, baik yang terjadi sekali saja maupun yang berulang-ulang kali. Karena tingkah laku yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah tingkah laku dari prilaku yang sadar dari pelaku-pelaku yang sadar, maka sunnah tidak hanya merupakan hukum tingkah laku sebagaimana yang terjadi pada hukum-hukum benda alam, melainkan juga sebuah hukum moral yang bersifat normatif. Bahkan secara tegas Rahman menyatakan bahwa kata sunnah sebenarnya tingkah laku yang meruapakan teladan. Oleh karena itu, pendapat sarjana Barat yang menyatakan bahwa sunnah adalah praktik aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga memperoleh status menjadi sunnah, jelas tidak bisa diterima. Sebab praktik aktual ini tidak bisa ditegakkan melainkan apabila secara ab intio dianggap normatif.[16] Sehingga kenormativan sebuah sunnah, menurut Rahman, harus mendahului praktik aktualnya.
Dari sini Rahman tampaknya lebih menitikberatkan makana sunnah sebagai sebuah konsep pengayoman daripada mempunyai kandungan khusus yang bersifat mutlak. Menurutnya sunnah Nabi lebih tepat dipahami sebagai sebuah petunjuk arah daripada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Inilah pengertian sunnah yang harus dijadikan landasan bagi kaum muslimin. Pernyataan Rahman mengenai hal ini sebagai berikut:

That the prophetic sunnah was a general umbrella-concept rathen than filled with an absolutely specific content flows directly, at theoretical level, from the fact that the sunnah si a behavorial term: since not two cases, in practice, are very exactly indentical in their situational setting-moral, psychological and material-sunnah must, of necessity, allow of interpretation and adaption.[17]

Sunnah nabi lebih tepat menjadi sebuah konsep pengayoman umum daripada sekedar berisikan sebuah kandungan khusus yang bersifat mutlak, pada level teoritis, yang secara langsung berasal dari fakta bahwa sunnah adalah istilah prilaku: karena tidak ada dua kasus, dalam kenyataannya, menjadi benar-benar sama dalam lata belakang situasional, moral, psikologis, dan material, maka sunnah harus menerima interpretasi dan adaptasi.

Sementara hadis (secara harfiah/leksikal bebarti cerita, peraturan, atau laporan) adalah sebuah narasi, biasanya sangat singkat dan bertujuan memberikan inforamsi tentang apa yang dikatakan nabi, dilakukan, dan disetujui atau tidak disetujui beliau, juga informasi yang sama mengenai para sahabat, terutama para sahabat senior, lebih khusus lagi keempat khalifah yang pertama. Setiap hadis mengandung dua bagian, teks (matn) hadis itu sendiru dan mata rantai transmisi atau isnadnya yang menyebutkan nama-nama penuturnya (rawi) sebagai penopang bagi teks tersebut.[18] Oleh karena itu, hadis juga disebut Rahman sebagai dengan istilah tradisi verbal, sebuah tradisi yang ditransmisikan. Tardisi verbal inimerupakan lawan dari tradisi non-verbal atau prakts yang disebut dengan istilah sunnah, sebuah tradisi yang diam atau hidup.[19]

Pada dasarnya, Rahman mengakui bahwa hadis mula-mula muncul tanpa dukungan isnad pada sekitar perputaran abad ke 1H / 7 M. Suatu sistem dengan perkembangan tinggi yang memliki dua komponen, teks dan isnad, tidak mungkin mendadak muncul begitu saja di tengah-tengah arena tanpa masa perkembangan sebelumnya, di mana ia tidak hanya mengalami perkembangan teknis saja, melainkan juga perluasan materi. Sungguh suatu hadis yang tidak resmi (disebarkan secara formal) dapat diduga telah ada pada masa hidup Nabi sendiri, di mana nabi merupakan sumber pedoman masyarakat muslim saat itu. Adalah sesuatu yang wajar bahwa pada masa hidup nabi orang-orang membicarakan tentang apa yang dikatakan atau dilakukan beliau sebagaimana mereka berbicara tentang halhal keseharian mereka.[20]
Orang-orang Arab tidak mungkin lengah untuk menyampaikan kembali perbuatan-perbuatan atau ucapan dari seseorang yang mereka akui sebagai Rasul Allah, mengingat mereka memiliki karakter suka menghafal dan menyampaikan sya’ir-sya’ir dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari para para peramal mereka, pernyataan-pernyataan dari para hakim dan pemimpin mereka. Menolak fenomena yang wajar ini adalah sebuah sikap yang sangat tidak masuk akal dan mengingkari sejarah. Sunnah baru (sunnah Nabi) ini bagi mereka terlampau penting.[21] Mengingat juga posisi Nabi sebagai teladan bagi mereka, hanya saja penyebaran pada masa ini masih bersifat informal.
Setelah Nabi wafat, penyebaran hadis Nabi berubah dari kondisi informal menuju penyebaran yang bersifat semi-formal. Pada saat ini, fenomena hadis berubah menjadi suatu kesengajaan karena tuntutan dari generasi yang bangkit menanyakan perihal prilaku Nabi. Hadis adalah sarana penyebaran sunnah Nabi yang mempunyai tujuan praktis, yakni suatu yang dapat menciptakan dan dapat dikembangkan menjadi suatu parktik aktual di masyarakat muslim. Oleh karena itu, hadis secara bebas ditafsirkan oleh penguasa dan hakim sesuai dengan situasi yang mereka hadapi, dan terciptalah apa yang disbeut sebagai sunnah yang hidup.[22]
Gerakan yang mengatasnamakan keseragaman ini tidak sabar terhadap proses ijma’ yang lamban. Mereka menawarkan hadis sebagai substitusinya. Para ahli hadis, sebagai pelaku utama, melancarkan kampanye besar-besaran dan masal untuk menstandarisasikan sunnah yang hidup dan mencoba melakukan kodifikasi prakstik-praktik yang sesuai dengan model Nabi, serta menolak penafsiran-penafsiran yang ekstrem terhadap dogma-dogma hukum tertentu. Pada pertengahan abad kedua, gerakan hadis sudah cukup banyak memperoleh kemajuan. Meskipun hampir semua hadis yang ada masih dinyatakan tidak bersumber dari Nabi, yakni bersumber dari para sahabat dan tabi’in, sebagian dari pendapat-pendapat di bidang hukum dan pandangan dogmatis kaum muslim pada masa lampau mulai diproyeksikan kepada Nabi Muhammad.[23]

2.    Hermeneutika Hadis Fazlur Rahman

Kaum modernis harus sadar bahwa walupun sebagian hadis tidak mewakili ajaran Nabi yang verbal dan murni, namun ia tetap masih memiliki hubungan dengan nabi dan terutama sekali mencerminkan perkembangan yang paling awal dari pemhaman masyarakat muslim akan ajaran tersebut.[24] Menurut Rahman, pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur’an diajarkan tanpa menyinggung aktivitas-aktivitas Nabi Muhammad adalah pendapat yang irasional. Aktivitas-aktivitas ini merupakan latar belakang yang sangat penting, baik dalam bidang politik, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan lain-lain. tidak ada yang dapat memberikan pertalian logis menganai pengajaran al-Qur’an, melainkan pengetahuan mengenai kehidupan aktual Nabi dan pada zamannya.[25]
Selain itu, bersamaan dengan kebutuhan yang nyata akan vitalitas baru dan interpretasi yang segar terhadap hadis, para pengawal tardisi ortodoks selama ini masih menunjukkan sikap konservatifnya yang tak kenal kompromi dan tidak ada usaha untuk menilai situasi yang baru sekarang ini ataupun perkembangan hadis yang aktual pada masa lalu. Karena itu diperlukan saat ini adalahsebuah penafsiran historis terhadap hadis dalam rangka mengembalikan hadis ke dalam konteks sunnah yang hidup. Rahman menyatakan sebagai berikut:

What we want now to do is recast hadith in to living sunnah term by historical interpretation so that we may be able to derive norms from it for ourselves through an adequate ethical theory and its legal reembodient.[26]

Apa yang sekarang ini kita lakukan adala menuangkan kembali hadis ke dalam istilah-istilah sunnah yang hidup melalui penafsiran historis sehingga kita dapat mengambil norma-norma darinya untukdiri kita sendiri memalalui teori etika yang memadai dan mewujudkan kembali nilai hukumnya.

Atas dasar fakta historis tentang adanya evolusi sunnah, evolusi hadis dan evolusi sunnah dalam bentuk hadis tersebut, Rahman menghendaki adanya upaya penuangan kembali hadis-hadis Nabi dalam bentuk living sunnah yang bersifat dinamis dan mampu mengadaptasi hal-hal baru dan segar yang terjadi dalam masyarakat muslim kontemporer. Upaya ini dalam istilah teknisnya disebut Rahman sebagai reevaluasi dan reinterpretasi terhadap unsur-unsur yang berbeda dalam hadis Nabi. Reevaluasi dilakukan dengan cara mengembalikan hadis menjadi sunnah yang sejak semula memang menjadi sumber hadis-dan melakukan penafsiran situasional. Penafsiran situasional ini dilakukan dengan menghidupkan kembali norma-norma yang dapat kita terapkan untuk saat ini.[27] Yaitu dengan membangkitkan kembali nilai moral dan riil dari latar belakang situasional hadis bersangkutan menurut perspektif historisnya yang tepat dan menurut fungsinya yang benar dalam konteks historisnya. Bahkan lebih jauh lagi Rahman menyatakan bahwa fenomena kontemporer (jika perlu) diproyeksikan kembali ke dalam bentuk hadis agar kaum muslimin dapat ditempa menurut pola spiritual, politik, dan soial tertentu.[28] Hal ini tidak lain dimaksudkan untuk mengendorkan sifat formalisme hadis dan melanjutkan perjuangan dari titik di mana sunnah secara sukarela melebur diri ke dalam hadis.[29]

Maka Rahman membagi hadis menjadi dua:

a.       Hadis-hadis yang bersifat historis dan biografis, yaitu hadis yang mencerminkan kandungan hitoris sunnah Nabi. Hadis-hadis mengenai shalat, zakat, dan haji termasuk tata cara pelaksanaannya secara detail adalah jelas-jelas terkait dengan Nabi sehingga orang-orang yang tidak jujur dan tidak waras sajalah yang menyangkalnya.[30]
b.      Hadis-hadis yang sebagian besar tidak bersifat historis. Yaitu hadis yang tidak bersumber dari Nabi tetapi tetap dipandang memiliki nilai normatif dalam pengertian dasar. Lalu Rahman menjelskan:

1)      Hadis-hadis teknis secara garis besarnya tidak bersifat historis dalam formulasi-formulasinya yang aktual, sebagaimana terlihat dalam hadis-hadis prediktif dan hadis-hadis fundamental (hadis-hadis yang berkepentingan dalam metodologi Islam, yakni hadis-hadis yang menjelaskan perkembangan fundamental selama periode klasik-formatif da menjelaskan terbentuknya ortodoksi/sunisme), khususnya hadis-hadis tentang ijma’. Bukti-bukti validitas hadis darinya haruis diteliti secara tersendiri berdasarkan fakta-fakta sejarah.
2)      Hal di atas (tesis mengenai ketidakhistorisan hadis-hadis teknis) mengantarkan bahwa hadis-hadis adalah bentuk persekongkolan besar-besaran yang dilakukan oleh ahli hadis. namun harus ditegaskan bahwa hadis-hadis tersebut adalah representasi dari spirit ajaran nabi yang ditafsirkan, karena hadis adalah representasi dari sunnah yang hidup (living sunnah).
3)      Walaupun tidak sesungguhnya bersifat historis, hadis tidak terpisah dari sunnah Nabi, karena hadis adalah refleksi verbal dari sunnah yang hidup. Sunnah yang hidup ini bersumber dari generasi Muslim pada awal sejarah Islam (yaitu paara hakim, ahli hokum, teoritisi dan politisi) yang menjelaskan dan menafsirkan teladan (sunnah) Nabi demi kepentingan kaum Muslim sebagai sebuah praktik yang disepakati bersama. Oleh karena itu, melalui aktivitas ijtihad dan ijma’ yang kontinu, dalam sunnah yang hidup selain berisi teadan Nabi yang bersifat umum, juga terdapat penafsiran-penafsiran regional terhadap teladan Nabi tersebut. Itulah sebabnya dalam sunnah yang hidup terdapat perbedaan. Hal yang sama juga dapat ditemukan dalam hadis, karena hadis adalah cermin sunnah yang hidup, di mana keanekaragaman pandangan-pandangan yang berbeda di dalam hadis ditemukan di hampir setiap masalah. Perbedaan mendasar antara sunnah yang hidup dan hadis adalah jika sunnah yang hidup merupakan proses yang hidup dan berkelanjutan, maka hadis bersifat formal dan berusaha memberikan kepermanenan mutlak terhadap sintesa sunnah yang hidup pada abad pertama, kedua dan ketiga Hijriyyah sebagai sebuah tuntutan zaman saat itu. Oleh karena itu, mengendorkan kemutlakan dan formalisme hadis sangat diperlukan untuk menghadapi problematika sekarang.
4)      Walaupun landasan utama hadis adalah uswah nabi, hadis tetap mewakili karya-karya generasi awal mengenai uswah tersebut. Faktanya, hadis memang merupakan keseluruhan ungkapan nyata (aphorism) yang diformulasikan dan dihasilkan oleh kaum muslim yang seoalh-olah berkaitan dengan Nabi. Sikap yang sangat aphoristic ini menunjukkan bahwa hadis tidaklah bersifat historis. Oleh karena itu, hadis lebih tepat dikatakan sebagai suatu komentar monumental dan besar-besaran mengenai Nabi oleh umat. Dengan demikian, meskipun disandarkan atas nabi, hadis juga sebagai sebuah simbol kebijaksanaan umat muslim klasik.[31]
Kemudian Rahman menyatakan:
But our argument does involve a reversal of the traditional pivture on one salient point in that we are putting more reliance on pure history than hadith and are seeking to judge the latter partly in the light of the former (partly because there is also al-Qur’an) whereas thetraditional picture us the other way around.[32]
Akan tetapi argumen kami benar-benar melibatkan suatu gambaran yang kontradiktif dari gambaran tradisional pada satu titik penting bahwa kami lebih mempercayai sejarah murni daripada hadis dan berusaha memberikan penilaian terhadap hadis sebagian berdasarkan sejarah murni (sebagian juga karena adanya al-Qur’an) mengingat gambaran tradisional adalah rentetan jalan yang berbeda.
Meskipun Rahman hanya menggunakan sejarah murni dan al-Qur’an sebagai acuan utamanya dalam melakukan reevaluasi dan reinterpretasi terhadap hadis-hadis teknis, ia tetap tidak mengingkari bahwa sesungguhnya hadis-hadis historis atau biografis dalam segi-segi utamanya sangat jelas dan dapat dipergunakan sebagai landasan untuk menafsrkan hadis hadis teknis yang sebagian besar tidak bersumber dari Nabi.[33]
Begitu juga yang menyangkut masalah isna>d sebagai tolok ukur validitas sutau hadis oleh mayoritas umat Islam yang tidak digunakan Rahman sebagai bukti-bukti bagi validitas hadis. bagi Rahman, isna>d tetap dipandang penting, karena faktanya isna>d telah melahirkan literatur-literatur yang mengandung informasi biogarfis yang benar dan meruapakan sebuah prestasi Islam yang unik. Di samping itu juga telah meminimalkan pemalsuan-pemalsuan terhadap hadis. namun demikian, isnad tidak tidak dapat dijadikan argumentasi yang bersifat positif dan final. Betapa pun pembawa berita”A” dipercayai terbukti benar-benar telah bertemu “B” yang umumnya juga dianggap dapat dipercaya (walaupun sulit dibuktikan), hal ini bukanlah merupakan bukti bahwa hadis bersangkutan telah disampaikan oleh “B” kepada “A”, terlebih lagi isnad muncul dan berkembang di belakang hari, yaitu menjelang akhir abad pertama Hijriyah.[34]
D.  Genealogi Hermeneutika Hadis Fazlur Rahman

Menurut Rahman, telaah historis dalam pemahaman hadis adalah jalan yang amat penting untuk membaca hadis, lalu bagaimana persoalan mengenai objektivitas sejarah? Sekiranya segala penafsiran terhadap objek sejarah itu tidak terlepas dari subjektivitas seorang pembaca, untuk selanjutnya, mampu kah seseorang mempertahankan kaidah sosio-historis yang dikatakan dapat menangkap makna sebenarnya yang ingin disampaikan oleh teks?
Dalam menghadapi pertanyaan ini, Rahman tampaknya tidak menjelaskan secara clear dan detail melaikan hanya merujuk pada perdebatan antara dua mazhab hermeneutika, yaitu antara Emillio Betti (sebegai pendukung teori objektivitas sejarah) dan Hans George Gadamer (pendukung teori subjektivitas sejarah).
Rahman kelihatan berpihak pada teori usulan Betti karena model tafsir yang diajukannya berpegang pada asumsi adanya objektivitas dalam kajian sesuatu objek yang wujud dalam sejarah (atau mungkin bisa disebut sebagai studi terhadap tradisi). Keberpihakannya pada teori Betti sekaligus meletakkannya dalam posisi bertentangan dengan Hans George Gadamer. Gadamer berpendapat bahwa “The recognition that all understandings inevibillity involves some prejudice gives the hermeneutical problem, its real trust.[35]
Sementara itu, Fazlur Rahman, sebagaimana Emilio Betti, mengkritik pendapat Gadamer yang jelas memposisikan setiap pemahaman sebagai subjektif. Rahman menulis:

 Every critique or modification of a tradition involves a consciousness of what is being criticized or rejected and hence, to that extent, self-awarness, in view of the revolutionary changes wrought by some men in their tradition, it is therefore not proper to say that their responses were predetermined, and primarily by their effective histories. What seems reasonable to hold is that all conscious responses to the past involve two moments that must be distinguished. One is the objective ascertaining of the past (-which Gadamer does not allow), which is possible in principle provide requisite evidence is available; the other of the response itself, which necessarily involves values and which is determined (not predetermined) by my present situation, which effective history is a part but of which my conscious effort and self-aware activity also constitute an important part. For Gadamer these two moments are utterly insparable and indistinguishable.[36]

Setiap kritik atau modifikasi tradisi melibatkan kesadaran tentang apa yang dikritik atau ditolak dan karenanya, sejauh itu, self-awarness (kesadaran diri), mengingat perubahan revolusioner yang ditimbulkan oleh beberapa orang dalam tradisi mereka, karena itu tidak tepat untuk mengatakan bahwa tanggapan mereka yang telah ditentukan, dan terutama oleh sejarah mereka efektif. Apa yang tampaknya masuk akal untuk dipegang adalah bahwa semua kesadaran masa lalu melibatkan dua momen yang harus dibedakan. Salah satunya adalah : memastikan tujuan masa lalu (-yang oleh Gadamer ditolaknya), yang mungkin pada prinsipnya memberikan bukti yang jika diperlukan itu tersedia; yang lain dari respon itu sendiri, yang tentu melibatkan nilai-nilai dan yang ditentukan (bukan tidak ditentukan) oleh situasi yang saya hadirkan sekarang. Sejarah yang efektif merupakan bagian tapi yang usaha sadar dan aktivitas sadar diri juga merupakan bagian penting . Untuk Gadamer dua momen ini benar-benar tidak dapat ditolak dan dibedakan.
 
Dengan pemahaman hermeneutika seperti ini, proses mempersoalkan tradisi dan merubah tradisi demi menjaga dan melestarikan pesan-pesan normatif dapat belangsung terus menerus di dalam bingkai historis.[37] Oleh karena itu, Rahman tidak terpaku pada pemahaman literal teks karena teks itu terbatas pada ruang dan waktu tertentu, yang tidak terbatas adalah pesan-pesan normatifnya. Inilah yang membuat Rahman berani merekonstruksi sebagian besar pemikiran tradisi di masyarakat yang telah mapan ditancapkan oleh kaum ortodoks.

E.   Aplikasi Teori Pemahaman Hadis ala Fazlur Rahman

Dalam bukunya Islamic Methodology in History Rahman mencontohkan bagaimana aplikasi pemahaman hadis Nabi dari konsep yang telah ia kemukakan.

مَا مِنْ عَبْدٍ قََالَ لَا إَلهَ إلَّا اللّهُ  ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ قُلْتُ وَ إِنْ زَنَى وَ إِنْ سَرَقَ قَالَ وَ إِنْ زَنَى وَ إِنْ سَرَقَ قُلْتُ وَ إِنْ زَنَى وَ إِنْ سَرَقَ قَالَ وَ إِنْ زَنَى وَ إِنْ سَرَقَ قُلْتُ وَ إِنْ زَنَى وَ إِنْ سَرَقَ قَالَ وَ إِنْ زَنَى وَ إِنْ سَرَقَ عَلى رَغْمِ أَنْفِ أَبِي ذَرٍّ (متفق عليه)[38]
“Tiada seorang pun yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (kemudian mati dalam keadaan seperti itu), melainkan ia masuk surga. Aku (Abu Z#ar) bertanya: meskipun ia telah berzina dan mencuri? Nabi Menjawab: meskipun ia telah berzina dan mencuri. Aku (Abu Z#ar) bertanya (lagi): meskipun ia telah berzina dan mencuri? Nabi Menjawab: meskipun ia telah berzina dan mencuri. Aku (Abu Z#ar) bertanya (lagi): meskipun ia telah berzina dan mencuri? Nabi menjawab: meskipun ia telah berzina dan mencuri, sambil menambahkan walaupun hidung Abu Z#ar harus mencium tanah”.

إِذَ زَنَى الْعَبْدُ خَرَجَ مِنْهُ الْإِيْمَانُ فَكَانَ فَوْقَ رَأْسِهِ كَالظُّلَّةِ فَإِذَا خَرَجَ مِنْ ذلِكَ الْعَمَلِ عَادَ إِلَيْهِ الْإِيْمَانُ
 (رواه الترميذ و أبو داود)[39]

Ketika seseorang melakukan perzinaan, maka imannya telah keluar darinya dan di atas kepalanya ada semacam atap/pelindung. Kemudian ketika dia meninggalkan perbuatan tersebut, maka iman kembali (lagi) kepadanya.


عَنْ أَبِى عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلعم قَالَ لَا يَزْنِى الزَّانى حِيْنَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِكُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ (متفق عليه)

Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda, Seorang pezina tidak akan berzina hingga ia benar-benar berzina, sementara ia berada dalam keadaan beriman. Dan seorang pencuri tidak akan mencuri hingga ia benar-benar mencuri, sementara ia dalam keadaan beriman.

Tidak diragukan lagi, menurut Rahman, bahwa formula yang disahihkan dalam ketiga hadis tersebut adalah mula-mula dimaksudkan untuk memberikan sebuah definisi hukum mengenai seorang Muslim dan menyelamatkan kaum Muslim dari perang-perang saudara yang bersifat dogmatis.[40] Yang dirasa akan mengancam struktur masyarakat Muslim, khusunya dalam ranah moral-teologis. Persoalan umat Muslim pada saat itu adalah batasan seseorang yang dapat dikatakan sebagai Muslim atau Mukmin; dan dapatkah seorang Muslim yang telah melakukan dosa besar tetap dipandang sebagai seorang Muslim. Bagi kelompok Khawarij, orang demikian tidak dapat dikelompokkan sebagai seorang Muslim atau Mukmin, melainkan sudah disebut Kafir. Bahkan, terhadap orang-orang yang tidak memandang Kafir terhadap orang tersebut pun dipandang oleh kelompok ini sebagai Kafir pula. Kelompok ini pun kemudian menyerukan jihad untuk menantantang orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Sementara itu, sebagai respon terhadap kelompok Khawarij, muncul kelompok Murji’ah yang mengajarkan dotrin bahwa seseorang yang mengaku Muslim tidak dapat dinayatakan Kafir hanya karena berdasarkan perbuatan-perbuatan yang dilaksanakannya. Keyakinan yang ada di batin seseorang yang telah mengaku Muslim harus diserahkan kepada Allah untuk diadili oleh-Nya kelak di akhirat.[41]
Oleh karena itu, untuk menyelamatkan umat dari pertentangan-pertentangan dogmatis dalam wilayah moral-teologis tersebut, definisi mengenai seorang Muslim atau Mukmin harus diformulasikan. Hafdis yang pertama, meskipun sejalan dengan pandangan kelompok Murji’ah, diciptakan untuk memberikan batasan bahwa seseorang yang telah mengikrarkan bahwa tidak ada tuhan selain Allah tetap masuk surga, walaupun telah berzina dan mencuri. Sementara itu hadis kedua dan ketiga tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mungkin akan mengalami kegoncangan moral berkaitan dengan isi dari hadis yang pertama, yakni bagaimana seorang yang telah melakukan perbuatan zina dan mencuri tetap dipandang sebagai seorang Muslim yang baik. Melalui hadis kedua dan ketiga tersebut dijelaskan bahwa ketika seseorang sedang berzina atau mencuri, maka pada saat itu imannya sedang keluar darinya.[42]


F.   Kesimpulan

Bangunan konsep atau teori hermeneutika hadis Rahman adalah perlunya reevaluasi terhadap aneka ragam unsur di dalam hadis dan reinterpretasi yang komprehensif dan holistik terhadap unsur-unsur tersebut sesuai dengan kondisi moral-sosial yang telah berubah pada masa kini. Hal ini dapat dilakukan dengan suatu studi historis terhadap hadis, yakni dengan mengubahnya menjadi sunnah yang hidup dan secara tegas membedakan nilai yang riil yang dikandungnya dari latar belakang situasionalnya. Oleh Karena itu harus dibedakan antara hadis-hadis yang bersifat historis dan biografis, yakni hadis-hadis yang didukung oleh fakta sejarah, dari hadis-hadis teknis yang sebagian besar tidak bersifat historis, hadis-hadis yang tidak didukung oleh validitas fakta sejarahnya. Serta menggunakan acuan al-Qur’an.

G.  Daftar Pustaka

Al-A’la, Abd, dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003.
Amal, Taufik Adnan, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neo-Modernisme Islam Dewasa ini”, dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, cet.I, Taufik Adnan Amal (peny), Bandung: Mizan, 1987.

Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1994.

Aminuddin, M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta: UII Press, 2000.

Esposito, John El, (ed), “Fazlur Rahman” dalam The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Vol. 3, New York: Oxford University Press, 1995.

Gadamer, Hans George, Truth and Method, London and Newyork: Continuum, 2004.

Hidayatullah, Syarif, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.

Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2001.

Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 2000.

Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Chicago and London: University of Chicago Press, 1982.

Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History , Islamabad, Islamic Research Institute’s, 1965.



[1] Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1994), h. 39-40
[2] Nama isteri Fazlur Rahman didapatkan dari catatan Ebrahim Moosa sebagai editor buku Revival and Reform in Islam. Lihat Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Stud tentang Fundamentalisme Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2001), hlm. V.
[3] M. Hasbi Aminuddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 9
[4] John El Esposito (ed), “Fazlur Rahman” dalam The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Vol. 3 (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 408
[5] Syarif Hidayatullah, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 15
[6] Abd. Al-A’la, dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 34
[7] Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, hlm. 10
[8] Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, hlm. 10
[9] Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, hlm. 13
[10] Taufik Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neo-Modernisme Islam Dewasa ini”, dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, cet.I, Taufik Adnan Amal (peny), (Bandung: Mizan, 1987), hal. 13.
[11] Taufik Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neo-Modernisme Islam Dewasa ini”, dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, cet.I, Taufik Adnan Amal (peny), hlm. 14
[12] Hal ini bisa dilihat langsung dalam karyanya Islam. Dalam karya itu ia menyatakan: Bagi al-Qur’an sendiri, dan konsekuensinya juga bagi kaum Muslimin, al-Qur’an adalah firman Tuhan (kalam Allah). Nabi Muhammad juga betul-betul yakin bahwa beliau adalah penerima pesan dari Allah, Zat yang sama sekali lain (kita akan segera mencoba mengungkapkan dengan istilah tepat dari arti sifat yang sama sekali lain itu), sedemikain rupa hingga ia menolak, dengan kekuatan kesadaran ini, sebagian dari klaim-klaim historis yang paling fundamental dari tardisi Judea-Kristiani tentang Ibrahim dan nabi yang lain. Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 32
[13] Abd. Al-A’la, dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, hlm. 20
[14] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, hlm. 53
[15] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, hlm. 53
[16] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Islamabad, Islamic Research Institute’s, 1965), hlm. 1-2
[17] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 12
[18] Fazlur Rahman, Islam, hlm. 68
[19] Fazlur Rahman, Islam, hlm. 69
[20] Fazlur Rahman, Islam, 68-69
[21] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 31-32
[22] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 32
[23] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 34
[24] Fazlur rahman, Islam, hlm. 87-88
[25] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 9
[26] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 80
[27] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 80
[28] Fazlur Rahman, Islamic Methodologyin History, hlm. 47
[29] Fazlur Rahman, Islamic Methodologyin History, hlm. 75
[30] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 81
[31] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 71-76
[32] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 81
[33] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 81
[34] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 72
[35] Hans George Gadamer, Truth and Method (London and Newyork: Continuum, 2004), hlm. 272
[36] Fazlur Rahman, Islam and Modernity  (Chicago and London: University of Chicago Press, 1982), hlm. 10
[37] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 11
[38] Fazlur Rahman, Islamic Methodologyin History, hlm. 60
[39] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 61
[40]Fazlur Rahman, Islamic Methodologyin History, hlm. 89
[41] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 59-60
[42] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 60-63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar