Alma'arif

Selasa, 04 November 2014

REMEANING“POLIGAMI ADALAH SUNNAH NABI” Dan MONOGAMI ADALAH CITA-CITA PERKAWINAN ISLAM




CATATAN: Tulisan ini BUKAN dari tulisan saya (Alma’arif). Tulisan ini adalah hand out mata kuliah hadis ahkam ketika S1 di Jurusan Tafsir dan Hadis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang ketika itu diampu oleh Bpk. Afdawaiza, M.Ag.

Realitas Pemahaman Masyarakat
Tidak mudah memahami kenyataan 'Nabi Saw mempraktikkan poligami' pada realitas kita di mana poligami menjadi sesuatu yang tidak sejalan dengan tuntutan keadilan perempuan
à Banyak orang terperdaya dengan ungkapan 'poligami itu sunnah', atau 'poligami itu dipraktikkan Nabi'. Sehingga mereka ketakutan untuk melakukan kritik terhadap perkawinan poligami. Karena mengkritik poligami, -apalagi menolak dan melarangnya- dianggapnya mengkritik prilaku Nabi. Bagi ummat Islam, melakukan kritik terhadap Nabi merupakan perbuatan tercela, bahkan bisa dianggap sebagai tindakan kemurtadan.
à Ungkapan 'poligami itu sunnah', seringkali menjadi motivasi praktik-praktik poligami yang saat ini marak terjadi. Dalam keadaan demikian, sangat sulit mendudukkan pemaknaan 'sunnah' yang sesungguhnya, karena berhadapan dengan orang-orang yang secara emosional sudah sangat setuju dengan poligami. Sejatinya, sunnah jika didefinisikan sebagai sesuatu yang dipraktikkan Nabi Saw, adalah banyak dan beragam. Jika sunnah-sunnah yang beragam ini diungkapkan secara utuh sebagai dasar keputusan, kita tidak bisa serta merta menyatakan bahwa 'poligami itu sunnah’
à Ungkapan 'poligami itu sunnah' pada praktiknya menafikan kenyataan 'sunnah-sunnah' lain yang lebih memihak pada perkawinan monogami. Misalnya, kenyataan bahwa Nabi Muhammad Saw lebih lama hidup dengan satu isteri, yaitu Khadijah bint Khuwalid ra, pada saat dimana beliau masih muda belia dan hidup di masyarakat yang hampir semuanya mempraktikkan poligami. Di mata masyarakat Arab pada saat itu, seorang laki-laki –seperti Nabi Muhammad Saw yang memiliki kedudukan dan ketokohan- sangat wajar melakukan poligami, apalagi Khadijah ra sendiri jauh lebih tua dan tidak memberikan anak laki-laki. Tetapi Nabi Saw lebih memilih setia monogami sampai akhir hayat Khadijah ra. Ditambah dua tahun setelah kematian Khadijah ra.
à Jika sunnah diartikan sebagai sesuatu yang dipraktikkan Nabi Saw, maka monogami inipun dipraktikkan beliau, bahkan jauh lebih lama jika dibandingkan dengan masa poligami beliau, yakni 28 tahun berbanding 8 tahun. Nabi Muhammad Saw hidup bahagia dengan satu orang isteri selama 28 tahun. Kenyataan ini seringkali dilupakan umat Islam yang hanya mendengar hiruk pikuk slogan 'poligami itu sunnah'. Masih banyak lagi sunnah-sunnah lain, yang bisa menjadi penyeimbang ungkapan 'poligami itu sunnah', sehingga tidak serta merta sunnah Nabi Saw diasumsikan sebagai dasar motivasi dan anjuran praktik poligami.
Problematika Pemaknaan Sunnah Nabi
à Pada praktiknya, sunnah baik yang berupa perkataan, perbuatan, maupun pernyataan, lahir pada suatu masa, tempat dan kondisi tertentu untuk merespon keadaan tertentu. Seringkali, Nabi Saw menyatakan sesuatu atau melakukan tindakan tertentu, justru untuk merespon pertanyaan atau keadaan yang terjadi di sekitar pada saat itu. Teks hadits mengenai bagaimana Nabi Saw melarang sahabat memukul perempuan, sangat jelas menunjukaan betapa ada proses negosiasi antara realitas yang dihadirkan dan respon sunnah terhadap realitas tersebut. Mulai dari larangan untuk memukul, dibolehkan tapi tidak mencedirai, dilarang kembali dengan menyatakan bahwa orang yang suka memukul perempuan bukanlah orang yang terbaik dari umat Islam. Di sini, betapa sunnah melakukan negosiasi untuk merespon tuntutan para perempuan dan pada saat yang sama juga merespon harapan para suami. Artinya, betapa sunnah sangat sarat dengan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat
à Sunnah, ketika sudah terkumpul menjadi teks-teks yang tercatat, seringkali dipahami dari berbagai sisi. Ada pemahaman dari satu sisi, yang berbeda dengan pemahaman dari sisi yang lain. Ada juga yang mencoba memahami dari berbagai sisi yang berbeda, dengan mengumpulkan teks-teks sunnah yang terpisah-pisah itu. Misalnya teks sunnah mengenai perintah untuk menikahi perempuan yang subur dan penuh kasih sayang. Pernyataan Nabi dilatarbelakngi oleh sahabat yang minta izain untuk menikahi perempuan yang punya posisi sosial dan kecantikan, kemudian Nabi melarangnya sampai 3 kali. Apakah perintah nabi itu juga untuk orang lain, Apakah setiap orang diperintahkan untuk hanya menikahi perempuan yang subur dan penuh cinta kasih semata? Lalu bagaimana nasib perempuan yang tidak subur dan kurang rasa cinta kasih? Apakah mereka tidak berhak menikah? Apakah perintah Nabi ini merupakan kewajiban agama, atau anjuran semata? Apakah memang benar-benar anjuran yang mengikat semua orang, atau hanya untuk kondisi dan keadaan tertentu? Apakah kita bisa mengambil keputusan, dengan mendasarkan pada sunnah pernyataan tersebut, bahwa dalam sunnah Nabi perempuan yang layak dinikahi adalah yang subur dan penuh cinta kasih? Bagaimana dengan sunnah Nabi lain, yang ternyata Nabi sendiri menikahi perempuan-perempuan yang tidak subur?
à Artinya, pemahaman yang simplistis, seringkali hanya melihat sunnah dari satu sisi semata, tanpa mempertimbangkan sisi yang lain, atau sunnah-sunnah yang lain. Keputusan apapun yang diambil mengenai 'sunnah menikah' dari teks hadits di atas adalah pemahaman terhadap sunnah, bukan sunnah itu sendiri. Karena ketika suatu teks hadits atau sunnah keluar dari realitas Nabi Saw, maka sesungguhnya ia sudah menjadi penangkapan (baca: pemaknaan) penerima dan pendengarnya; sahabat sebagai penerima pertama, tabiin sebagai penerima kedua dan begitu seterusnya. Ia tidak lagi menjadi sunnah dalam artinya yang utuh sebagai Nabi Saw itu sendiri. Catatan mengenai sunnah, seringkali tidak menyertakan kondisi dan realitas yang mengitari yang justru menjadi sebab kelahiran sunnah tersebut. Sehingga tidak heran kalau Abu Hurairah  meriwayatkan bahwa sumber kesialan itu ada 3; kuda, perempuan dan rumah, yang akhirnya dibantah oleh Aisyah. Inilah penyebab orang salah paham terhadap pengertian sunnah Nabi, termasuk dalam hal ini adalah masalah poligami.
à Membumikan keteladanan sunnah Nabi Saw berarti memaknai teks-teks hadits sesuai dengan konteks ketika ia muncul, kemudian ditarik untuk disesuaikan dengan kondisi penerapan dan implementasi. Hadits-hadits mengenai larangan mencukur rambut bagi perempuan, membuat tato, menyambung rambut, mencukur alis, atau yang lain, dinyatakan dalam konteks di mana perbuatan-perbuatan tersebut pada zaman dulu menjadi ciri khas perempuan pelacur yang tidak memliki harga diri. Artinya, larangan tidak mengarah kepada perbuatan tetapi kepada sesuatu yang memotivasi perbuatan tersebut. Yaitu menghancurkan kehormatan dan harga diri perempuan. Karena, mencukur atau menyambung rambut adalah salah satu cara untuk berhias, sama seperti bercelak dan menggosok gigi. Kalau berhias itu dilarang, maka jenis apapun dan untuk siapapun juga harus dilarang. Tetapi ternyata Islam memperkenankan seseorang, termasuk perempuan untuk berhias, selama tidak digunakan untuk hal-hal yang menistakan harga dirinya
à Jika metode yang demikian diterapkan untuk memaknai sunnah-sunnah yang terkait dengan isu poligami, mungkin tidak akan muncul simplisitas ungkapan 'poligami itu sunnah', sebagai sebuah ungkapan motivasi, anjuran dan semangat keberagamaan. Di samping sunnah poligami bisa dipahami dari berbagai sisi, juga banyak sunnah-sunnah lain yang bisa dicatat sebagai bahan pertimbangan memahami secara utuh apa sesungguhnya makna 'sunnah poligami'. Ketika sunnah dimaknai sebagai pernyataan dan tindakan Nabi saw, maka ada ragam sunnah yang terkait dengan poligami . Juga merupakan sunnah untuk merasa sakit dan menolak rencana poligami Ali bin Abi Thalib terhadap putri Fathimah bint Nabi Saw, dan sunnah mempersilakan Ali untuk memilih mencerai Fathimah dan mengawini perempuan lain, atau tetap dengan Fathimah dan tidak mengawini perempuan lain.
Sunnah Poligami Nabi
à Jika Sunnah Nabi hanya dipahami sebagai kewenangan berpoligami belaka mungkin mudah diterapkan. Apalagi jika dibarengi dengan dorongan emosi dan kebutuhan seksual. Pemahaman seperti ini disamping terlalu menyederhanakan persoalan, juga bisa menyesatkan. 'Sunnah poligami' yang sesungguhnya tidak sekedar boleh berpoligami, tetapi menyangkut seluruh prilaku dan tindakan Nabi dalam persoalan poligami. Karena sunnah, seperti didefinisikan para ulama adalah seluruh tindakan, prilaku dan ucapan Nabi Saw. Maka 'sunnah poligami' adalah seluruh prilaku dan tindakan Nabi Saw yang terkait dengan poligami, kenapa, berapa dan bagaimana perlakuan yang diberikan ketika berinteraksi dengan para isteri.
1.   Jumlah Poligami
à Untuk persoalan jumlah, seluruh ulama sepakat untuk mengharamkan 'mengikut jejak sunnah Nabi'. Seperti diketahui dalam catatan sejarah kita, Nabi Saw menikahi lebih dari empat orang perempuan. Ketika Nabi Saw wafat, yang tercatat sebagai isteri baginda pada saat itu berjumlah sembilan orang. Tetapi semua ulama mengharamkan keteladanan 'sunnah' menikah dengan lebih dari empat orang perempuan. Karena Nabi Saw sendiri hampir tiga kali memerintahkan beberapa sahabat untuk menceraikan isteri di atas empat orang. Yaitu yang diungkapkan terhadap Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi ra, Wahb al-Asady ra dan Qays bin al-Harits ra:
عن ابن عمر أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم وله عشر نسوة في الجاهلية فأسلمن معه فأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن تخير أربعا منهن. (رواه الترمذي).
     "Dari Ibn Umar ra berkata: bahwa Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam dan memiliki sepuluh orang isteri pada masa Jahiliyah (sebelum masuk Islam), bersamanya mereka juga masuk Islam, lalu Nabi menyuruhnya untuk memilih empat orang saja dari mereka". (Riwayat at-Turmudzi).([i])
قال مسدد ابن عميرة، قال: وهب الأسدي: أسلمت وعندي ثمان نسوة فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اختر منهن أربعا. (رواه أبو داود).
     "Musaddad bin Umairah berkata: bahwa Wahb al-Asadi berkata: Aku masuk Islam dan saat itu aku memiliki delapan orang isteri. Ketika aku sampaikan hal tersebut kepada Nabi Saw, baginda berkata: "Pilihlah empat orang saja dari mereka". (Riwayat Abu Dawud).([ii]).
عن حميضة بنت الشمردل عن قيس بن الحارث قال: أسلمت وعندي ثمان نسوة فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم فقبلت ذلك له، فقال: اختر منهن أربعا. (رواه ابن ماجه).
"Dari Humaidhah bin Syarmadal, dari Qays bin al-Harits berkata: Aku masuk Islam dan aku memiliki delapan orang isteri. Ketika hal itu aku sampaikan kepada Nabi Saw, baginda berkata: pilihlah empat orang saja dari mereka". (Riwayat Ibn Majah). ([iii]).
è Dengan ketiga teks sunnah ini, ulama sepakat untuk menyatakan bahwa 'sunnah menikah lebih dari empat orang perempuan' adalah merupakan suatu tindakan khusus bagi Nabi Saw yang tidak boleh diteladani siapapun dari ummatnya. Yang diperkenankan bagi ummat selain Nabi Muhammad Saw, adalah hanya empat, bukan seperti yang dilakukan Nabi Saw sembilan orang. Kesimpulan ulama ini, setidaknya mengindikasikan bahwa 'sunnah poligami' tidak bisa dipahami persis seperti yang dilakukan Nabi Saw pada saat itu. Ulama telah melakukan pemaknaan ulang terhadap 'sunnah poligami', dengan membaca dan mempertimbangkan 'sunnah-sunnah' yang lain.

2.   Sunnah Menggilir Istri
è Jika kita membaca salah satu rujukan kitab hadits, misalnya kitab Subul as-Salâm karya Imam ash-Shan'âni (Muhammad bin Isma'il al-Kahlani, w. 1182H), atau kitab Nayl al-Awthâr karya Imam asy-Syawkâni (Muhammad bin Ali bin Muhammad, w. 1255H), kita akan menemukan betapa konsistennya Nabi Saw memperlakukan isteri-isteri dengan adil dan merata dalam hal nafakah dan bergilir menginap malam hari. Jika satu orang isteri ditemani selama satu malam, maka yang lain juga harus dapat giliran satu malam. Jika giliran pada salah seorang isteri menjadi dua malam, maka setiap isteri yang lain juga memperoleh giliran yang sama dua malam. Nabi Saw selalu menjaga agar giliran ini tetap diperoleh setiap isteri dengan adil dan rata. Tidak ada satu orang isteripun yang dilewati tanpa memperoleh giliran yang sama dan rata, kecuali dengan seizin isteri tersebut dan tanpa menyakiti hatinya.
عن عائشة رضي الله عنها، قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم بين نسائه ويعدل، ويقول: اللهم هذا قسمي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولا أملك. (رواه الترمذي والنسائي).
"Dari Aisyah ra berkata: bahwa Rasulullah Saw selalu bergilir di antara isteri-isteri dengan adil. Dan baginda berdoa: "Ya Allah, tindakan bergilir seperti ini yang aku miliki dan (mampu aku lakukan), maka janganlah menyalahkanku pada sesuatu yang Engkau miliki tetapi tidak aku miliki". Riwayat at-Turmudzi dan an-Nasa'i.
عن أم سلمة رضي الله عنها، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما تزوجها أقام عندها ثلاث، وقال: إنه ليس بك على أهلك هوان، إن شئت سبعت لك، وإن سبعت لك سبعت لنسائي. (رواه مسلم).
"Dari Umm Salamah ra berkata, bahwa ketika Rasulullah Saw menikahi dirinya, baginda menginap bersamanya selama tiga malam. Baginda berkata: "Bukan karena suamimu lemah, tetapi kalau kamu mau aku di sini tujuh malam, bisa saja, tetapi jika demikian, maka aku juga harus menginap tujuh malam dengan isteri-isteri yang lain". (Riwayat Muslim).
وعن عروة قال: قالت عائشة: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يفضل بعضنا على بعض في القسم من مكثه عندنا، وكان قل يوم يأتي إلا وهو يطوف علينا جميعا، فيدنو من كل امرأة من غير مسيس، حتى يبلغ التي هو يومها، فيبيت عندها. (رواه أبو داود).
"Dari Urwah berkata, bahwa Aisyah ra berkata: Bahwa Rasulullah Saw tidak pernah melebihkan kewajiban bergilir terhadap salah satu di antara kami, (dan mengurangi yang lain). Hampir setiap hari baginda mendatangi kami semua, mendekat kepada setiap isteri, tapi tidak melakukan persetubuhan, kemudian terakhir sampai pada rumah isteri yang memperoleh gilirian dan menginap di rumah tersebut". (Riwayat Abu Dawud).([iv])
عن عائشة رضي الله عنها، قالت: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث إلى النساء –يعني في مرضه- فاجتمعن. فقال: إني لا أستطيع أن أدور بينكن، فإن رأيتن أن تأذن لي، فأكون عند عائشة فعلتن، فأذن له. (رواه أبو داود).
"Dari Aisyah ra, berkata: Bahwa Rasulullah Saw memanggil isteri-isteri, ketika baginda sakit akhir hayat, kemudian mereka berkumpul. Nabi berkata kepada mereka: "Aku sudah tidak mampu lagi mengunjungi kalian semua, jika kamu memandang bisa mengizinkan kepadaku untuk tinggal di rumah Aisyah, maka lakukanlah. Mereka kemudian mengizinkan baginda". (Riwayat Abu Dawud).([v]).
è Seperti yang terekam dalam teks-teks sunnah tersebut, Nabi Saw selalu setia untuk bergilir dengan merata dan adil, tidak melebihi yang satu atau mengurangi yang lain, apalagi meninggalkan kewajiban tersebut dari salah seorang isteri. Setiap hari, memang Nabi Saw mengunjungi semua isteri-isteri, satu persatu, tetapi pada malam hari tetap menginap pada giliran waktu yang telah dibagi. Bahkan pada akhir hayat ketika sakit, Nabi Saw harus memohon izin dulu kepada mereka semua agar bisa menginap di rumah Aisyah ra saja, karena keterbatasan fisik yang lemah akibat sakit. Dengan teks-teks sunnah ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang suami pelaku poligami diwajibkan melakukan pembagian yang rata dan adil pada hal-hal bersifat material. Seperti bergilir malam, rumah, pakaian dan makanan. Terutama bergilir malam, hampir seluruh ulama madzhab menyatakannya sebagai kewajiban. Saat ini, para pelaku poligami sudah tidak lagi mengindahkan 'sunnah bergilir' secara adil dan merata. Mereka menginap dan bergilir sesuai kehendak hati mereka. Dan seringkali lebih banyak bersama dengan isteri yang paling mereka cintai, biasanya adalah yang termuda dan tercantik, suatu yang sangat bertolak belakang dengan poligaminya Nabi.
è Kebanyakan dari pelaku poligami tidak mengetahui mengenai sunnah 'kewajiban bergilir' secara merata dan adil. Kalaupun tahu, mereka berdalih dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Mereka merasa kesulitan untuk melakukan 'sunnah bergilir secara merata' karena faktor pekerjaan, tempat yang jauh dan waktu yang sudah tidak memungkinkan. Dikatakan, bagi Nabi Saw, bergilir itu amat mudah karena rumahnya berbentuk kamar-kamar yang berdampingan satu isteri dengan yang lain. Kesibukan Nabi pun belum terbagi seperti yang terjadi pada saat sekarang ini, yang harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bahkan antar kota dan antar negara. Karena rumah dan kesibukan yang masih sederhana, pembagian waktu bergilir secara merata tidak menghadapi persoalan. Saat ini, ketika pekerjaan sudah semakin kompleks, putaran hari yang dalam seminggu berjumlah tujuh hari sama sekali tidak mungkin untuk dibagi dua isteri, tiga atau empat. Apalagi jika mempertimbangkan hari libur, yang biasanya hanya satu atau dua hari dalam seminggu. Belum lagi hari-hari libur lain dalam setahun. Semua itu tidak mungkin dibagi secara adil dan merata dalam menggilir isteri-isteri.
è Orang yang memegang prinsip 'poligami boleh', menganggap 'sunnah bergilir' tidak lagi relevan dan tidak perlu lagi diterapkan. Karena jika harus diterapkan, maka tidak akan bisa satu orangpun yang berpoligami. Mereka sebenarnya tanpa sadar telah menafikan sesutau yang jelas dan nyata adalah sunnah. Bahkan, sunnah yang secara eksplisit mewajibkan untuk berlaku adil dan merata.
è Jika pernyataan mereka dibenarkan, maka yang sebaliknya juga semestinya bisa dibenarkan. Yaitu, bahwa 'sunnah bergilir' semestinya harus tetap diberlakukan sebagai manifestasi dari prinsip keadilan yang diperintahkan al-Qur'an. Justru 'sunnah poligami' yang harus ditangguhkan ketika 'sunnah bergilir' tidak bisa dipraktikkan pada aras realitas. Jika 'sunnah bergilir' bisa dilikuidasi demi 'keberlangsungan poligami', maka berarti sunnah 'kewenangan poligami' juga bisa dihentikan demi sesuatu yang lebih besar, yaitu prinsip keadilan. Ini memang permainan logika, tetapi simplisitas ungkapan 'poligami sunnah' adalah sesuatu yang rancu dan naif. Ungkapan ini hanya melihat sunnah tertentu, dan meninggalkan sunnah-sunnah yang lain. Setidaknya, dari logika ini bisa dipahami bahwa pernyataan 'poligami itu sunnah' tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Dengan melihat 'sunnah bergilir' saja misalnya, yang tidak lagi diterapkan suami pelaku poligami, betapa mengikuti keteladanan 'sunnah poligami' sesungguhnya sesuatu yang sulit dilakukan untuk benar-benar seperti sunnah Nabi Saw.

3.   Sunnah Undian Giliran Bepergian
è Begitu juga dalam hal 'sunnah bepergian' bagi pelaku poligami, juga menyiratkan hal yang sama. Sesuatu yang bagi banyak ulama sebagai sunnah, tidak lagi banyak diperhatikan para pelaku poligami dengan seksama, apalagi diterapkan dalam praktik-praktik poligami yang terjadi. Dalam sunnah, suami yang memiliki lebih dari seorang isteri harus selalu mengundi dengan siapa –isteri yang mana- dia akan bepergian. Ternyata ini juga sangat jauh dengan apa yang terjadi pada masa sekarang ini. Dalam suatu teks sunnah disebutkan:
عن عائشة رضي الله عنها، قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أراد سفرا أقرع بين نسائه، فأيتهن خرج سهمها خرج بها معه، وكان يقسم لكل امرأة منهن يومها وليلتها، غير أن سودة بنت زمعة وهبت يومها وليلتها لعائشة زوج النبي، تبتغي بذلك رضا رسول الله صلى الله عليه وسلم. (رواه البخاري ومسلم وأبو داود).
"Dari Aisyah ra berkata: bahwa Rasulullah Saw apabila mau bepergian, baginda akan mengundi para isteri, siapa yang keluar undiannya, dialah yang akan keluar pergi bersama menemani baginda. Baginda juga selalu bergilir kepada setiap isteri untuk siang dan malam, hanya Sawdah bint Zam'ah yang menghibahkan kesemapatan gilrinya untuk bagian Aisyah, isteri Nabi, dia berharap akan memperoleh kerelaan dari Rasulullah Saw". (Riwayat Bukhari Muslim).([vi])
è Dengan teks sunnah ini, bagi Imam Syafi'i (Muhammad bin Idris, w. 204H), mengundi isteri untuk bepergian, hukumnya adalah wajib. Seorang suami tidak diperkenankan untuk bepergian dengan salah seorang isteri atau lebih dengan pilihan dia sendiri. Dia bisa bepergian dengan tanpa ditemani isteri sama sekali, tetapi tidak diperkenankan ditemani isteri dengan tanpa pengundian terlebih dahulu. Jika tanpa pengundian, dia diwajibkan untuk mengganti seluruh masa yang dihabiskan untuk bepergian, dengan menggauli isteri yang tidak diajak bepergian.([vii]) 
è Kenyataannya, seringkali suami ingin bepergian dengan orang yang nyaman bagi dirinya. Pertanyaanya, mengapa kalau 'bepergian dengan membawa isteri melalui cara pengundian' susah diterapkan, lalu yang ditangguhkan adalah sunnah 'mengundi', dan tidak menangguhkan pangkalnya, yaitu 'poligami'? Jika poligami menyebabkan berbagai sunnah lain yang terkait sulit diterapkan, maka semestinya 'poligami' itu sendiri yang dihentikan, agar tidak terjadi penyelewengan terhadap sunnah-sunnah lain yang justru menjadi media prinsip keadilan.
è Dengan membaca 'sunnah bergilir' dan 'sunnah mengundi', kita bisa melihat betapa poligami yang dipraktikkan Nabi Saw sarat dengan upaya-upaya melakukan pemerataan untuk kepentingan para isteri. Nabi Saw mengikatkan diri pada tindakan-tindakan yang bertujuan memberikan kepuasan terhadap semua isteri, tanpa membedakan satu dari yang lain. Ikatan-ikatan ini sangat susah bisa dipraktikkan orang lain, selain Nabi Saw. Kita bisa memahami bahwa ikatan-ikatan ini sengaja ditunjukkan Nabi Saw agar umat Islam tidak mempermudah tindakan poligami, dengan memperlihatkan bagaimana diri Nabi Saw harus terikat dengan kewajiban-kewajiban yang sulit dipraktikkan orang lain. Atau setidaknya, sunnah 'bergilir' dan 'mengundi' ini bisa mempertontokan betapa klaim 'kewenangan poligami'  sebagai sesuatu yang sunnah, –jika tidak dibarengi dengan kedua sunnah tersebut- merupakan tindakan gegabah dan tidak mencerminkan 'sunnah poligami' yang sesungguhnya. Ini masih belum lagi, jika pembacaan 'sunnah poligami' disandingkan dengan sunnah-sunnah lain; seperti kenyataan Nabi Saw baru menikah lagi ketika berumur 55 tahun, dan kebanyakan dengan para janda yang sudah berumur. Sungguh, jika 'sunnah poligami' hanya dipahami sebatas 'kewenangan berpoligami' secara mutlak, adalah suatu pemahaman yang naif dan absurd. Lebih buruk lagi, jika 'sunnah poligami' dipahami sebagai suatu anjuran untuk berpoligami, atau penilaian keber-agama-an seseorang sejauh mana ia sanggup berpoligami, atau bersedia dipoligami.

Anjuran Berpoligami
è Banyak sekali orang yang berbicara mengenai poligami dengan tanpa dasar sama sekali. Fakta bahwa Nabi Saw berpoligami misalnya, dipahami sebagai sebuah anjuran bagi ummatnya untuk berpoligami. Pemahaman yang simplistis ini sesungguhnya membahayakan kelangsungan peradaban umat Islam. Seringkali, dengan pemahaman seperti ini umat Islam lebih memilih membangun masjid, sekalipun masjid sebenarnya sudah ada, daripada membangun jembatan, jalan, wc umum, atau membuka sungai dan sawah. Karena Nabi Saw pernah membangun masjid, maka orang Islam berlomba-lomba untuk membangun masjid di manapun dengan atas nama diri masing-masing, dan mengabaikan kewajiban-kewajiban lain yang menyentuh kebutuhan riil masyarakat banyak sehari-hari. Membangun masjid dianggap sebagai suatu sunnah yang harus selalu dilakukan pada setiap kemampuan. Berbeda dengan membangun sarana-sarana umum, yang bukan merupakan kewajiban ummat Islam, dan bukan merupakan tindakan sunnah keteladanan Nabi Saw. Membangun sarana umum biarlah merupakan kewajiban pemerintah sekuler, atau menjadi program orang-orang barat yang materialis dari dana-dana pajak atau bantuan negara-negara barat.
è Sama persis dengan persoalan poligami. Fakta bahwa 'Nabi berpoligami' dipahami sebagai anjuran untuk mengikuti tindakan poligami Nabi sebagai sesuatu yang sunnah dan mulia. Padahal, secara eksplisit tidak ada anjuran dari Nabi Saw kepada umat Islam untuk berpoligami. Fakta bahwa Nabi Saw berpoligami tidak bisa dipahami sebagai sebuah anjuran, karena banyak fakta lain yang lebih kuat –berupa pernyataan eksplisit- yang justru mengkritik prilaku poligami. Bahasa tutur, dalam pembahasan disiplin ilmu ushul fiqh, lebih kuat dibanding bahasa tindakan. Karena bahasa tutur lebih jelas dan lebih tegas mengisyaratkan pada persoalan secara lebih jelas dan tegas. Sepanjang bacaan terhadap kitab-kitab komentar (syarh) hadits, seperti Fath al-Bâri karya  (w. 852H) al-'Asqallâni, Subul as-Salâm karya ash-Shan'âni (w. 1182H) dan Nayl al-Awthâr karya asy-Syawkâni (w. 1255H), tidak ditemukan pernyataan ulama bahwa ada sunnah yang menganjurkan poligami. Sekalipun mereka tahu bahwa Nabi Saw melakukan poligami, tetapi tidak satupun dari mereka yang mendasarkan kepadanya untuk menganggap poligami sebagai suatu anjuran Nabi Saw.
è Pada teks yang ketiga, sepertinya secara eksplisit disebutkan 'orang yang paling baik dari ummat ini adalah ia yang beristeri banyak'. Teks ini bisa dipahami sebagai isyarat anjuran terhadap poligami. Teks inilah yang dijadikan dasar oleh Ustadz Muhammad Thalib untuk mengungkapkan seruan terhadap poligami. Bahkan menjadikannya sebagai dasar untuk mengungkapkan bahwa muslim yang berpoligami lebih baik dari yang monogami, karena poligami merupakan ciri pertanggung-jawaban dan ketangguhan kepribadian muslim.([viii]) Pada pernyataan Ibn Abbas ra ini, perlu ada pembahasan yang lebih panjang Lengkapnya, teks tersebut adalah sebagai berikut:
عن طلحة اليامي عن سعيد بن جبير قال: قال لي ابن عباس هل تزوجت؟ قلت: لا، فتزوج فإن خير هذه الأمة أكثرها نساء. (رواه البخاري).
"Dari Thalhah al-Yami, dari Said bin Jubair, berkata: Ibn Abbas bertanya kepadaku: "Kamu sudah kawin?" Aku menjawab: "Belum". Ibn Abbas berkata: "Nikahlah, karena sebaik-baik orang dari ummat ini adalah yang paling banyak isterinya". (Riwayat al-Bukhari).([ix])
è Seperti yang terbaca, teks di atas merupakan dialog antara Said bin Jubair yang belum memilih untuk kawin dengan Ibn Abbas yang menyarankan untuk cepat menikah. Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa Said bin Jubair pada saat itu masih sangat muda dan belum tumbuh rambut di wajah. Dia menjawab: "Saya belum menginginkan nikah pada saat sekarang ini". Atau dalam riwayat lain: "Kenapa saya harus menikah".([x]) Dengan melihat latar belakang ini, adalah sesuatu yang tidak tepat jika pernyataan Ibn Abbas dianggap sebagai seruan terhadap poligami, karena Said bin Jubair sendiri belum menikah, atau belum memiliki keinginan untuk menikah karena saat itu umurnya masih muda, atau karena memang dia benar-benar belum tertarik untuk menikah. Pada konteks ini, yang tepat adalah mengajaknya untuk menikah dan belum waktunya untuk mengajak berpoligami.
è Tetapi memang secara literal, kalimat yang diungkapkan Ibn Abbas bisa dianggap sebagai seruan terhadap poligami. Ibn Hajar al-Asqalani (pensyarah sahih Bukhari) sendiri menyitir kemungkinan ini, yang disuarakan sebagian orang. Tetapi Ibn tidak sependapat, karena itu menyebutkannya dengan pernyataan 'qîla', sebuah ungkapan yang dalam disiplin ilmu hadits mengindikasikan pada kelemahan sumber dan rujukan. Kata Ibn Hajar: "Dikatakan ada pandangan yang berkata: maksud kalimat tersebut adalah bahwa sebaik-baik ummat ini adalah ia yang terbanyak isterinya, (perbandingan ini) di antara mereka yang memiliki keutamaan sepadan". Ibn Hajar sendiri lebih memilih bahwa kalimat Ibn Abbas mengisyaratkan adanya perbandingan antara mereka yang menikah dan mereka yang memilih untuk tidak menikah, atau belum menikah. Yang dimaksud dari kata 'al-khair' adalah Nabi Muhammad Saw sendiri. Karena yang terbaik dari ummat Islam, tentu adalah Nabi Muhammad Saw, dan tidak ada yang terbaik dari baginda. Kalimat Ibn Abbas, oleh Ibn Hajar diartikan dengan sebaik-baik ummat adalah Nabi Muhammad yang menikah, bahkan dengan banyak isteri. Kalimat Ibn Abbas ini, kata Ibn Hajar, mengisyaratkan bahwa menikah lebih baik daripada tidak atau belum menikah. Jika tidak lebih baik, tidak mungkin Nabi Saw memilih menikah, bahkan dengan lebih dari seorang perempuan. Pada akhir pembahasan, Ibn Hajar tetap konsisten untuk menyatakan bahwa pada teks hadits ada seruan untuk menikah dan meninggalkan tradisi selibat (ar-rahbaniyyah). Tanpa menyinggung sedikitpun terhadap ungkapan anjuran atau apresiasi terhadap praktik berpoligami.([xi])
è Walau bagaimanapun, kalimat Ibn Abbas ra bukan hadits atau sunnah seperti yang telah didefinisikan pada awal tulisan. Teks itu bukan merupakan pernyataan, tindakan atau penetapan dari Nabi Muhammad Saw. Kalimat itu adalah pernyataan dari seorang sahabat Ibn Abbas ra dalam dialognya denga teman sejawatnya. Pernyataan sahabat, seperti dikatakan beberapa ulama, termasuk Imam Syafi'i, tidak serta merta bisa menjadi dasar hukum suatu keputusan agama.([xii]) Yang jelas tidak ada pernyataan langsung dari sunnah Nabi Saw, yang menganjurkan poligami atau mengapresiasi poligami sebagai suatu tuntutan keagamaan. Sebaliknya, ada beberapa teks sunnah yang justru mengkritik tindakan poligami. Tentu saja, seperti ayat al-Qur'an, kritik diarahkan pada praktik poligami yang seringkali dibarengi dengan tindak ketidak-adilan terhadap para isteri.
Kritik Terhadap Poligami
è Kedisiplinan yang sangat tinggi dalam perkawinan poligami, pada konteks masyarakat yang sangat permisif terhadap poligami, adalah suatu kritik yang nyata dan tajam. Kritik ini lebih nyata diungkapkan Nabi Saw terhadap mereka yang berpoligami, tetapi tidak bisa meneladani sunnah 'keadilan terhadap isteri-isteri' yang diperintahkan. Nabi Saw mengancam kepada mereka yang berpoligami, tetapi memiliki kecenderungan lebih terhadap salah satu isteri dari isteri-isteri yang lain.
عن أبي هريرة رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من كانت له امرأتان فلم يعدل بينهما جاء يوم القيامة وشقه ساقط. وعند أبي داود: من كانت له امرأتان فمال إلى إحداهما جاء يوم القيامة وشقه مائل. وعند النسائي: يميل لإحداهما على الأخرى جاء يوم القيامة أحد شقيه مائل. (رواه أبو داود والترمذي والنسائي). 
"Dari Abu Hurairah ra: Bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang memiliki dua orang isteri, kemudian dia tidak berbuat adil terhadap keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dan separoh tubuhnya jatuh (terbelah). Dalam riwayat Abu Dawud: Barangsiapa yang memiliki dua orang isteri, kemudian ia cenderung kepada salah satu dari keduanya, maka ia datang di hari kiamat kelak dan separoh tubuhnya terlepas. Dalam riwyat an-Nasa'i: dia cenderung kepada salah seorang dari keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dan separoh anggota tubuhnya terlepas". (Riwayat Abu Dawud, at-Turmudzi dan an-Nasa'i).([xiii])
è Dalam komentar al-Mubarakfuri (Muhammad Abd ar-Rahman bin Abd ar-Rahim, w. 1353), ada riwayat lain yang menegaskan bahwa orang tersebut di hari kiamat akan menyeret-nyeret separoh tubuhnya yang terjatuh ke lantai. Ungkapan ini merupakan gambaran penyiksaan yang pedih dan dahsyat.([xiv]) Sesuatu tidak akan diancam dengan siksaan yang pedih, kecuali karena sesuatu tersebut dilarang agama dan termasuk perbuatan dosa. Berbuat tidak adil terhadap isteri-isteri dalam perkawinan poligami adalah perbuatan dosa yang mengakibatkan siksaan di akhirat nanti.
è Ada model kritik lain dari sunnah Nabi Saw terhadap praktik poligami, seperti pujian terhadap kehidupan monogami baginda dengan Khadijah ra, tidak mengizinkan Ali ra mempoligami Fathima ra dan mempersilakan Ali ra untuk memilih mencerai Fathimah ra untuk mengawini perempuan lain, atau tetap dengan Fathimah ra tanpa menikahi perempuan lain. Semua ini merupakan bentuk kritik sunnah terhadap praktik poligami, yang jika dipahami secara utuh, sebenarnya sunnah Nabi Saw pada tataran ideal justru memilih monogami.
Sunnah Memilih Monogami
è Dalam banyak catatan, Nabi Saw seringkali memuji kehidupannnya bersama Khadijah ra yang dinikahinya ketika berumur 25 tahun sedangkan dia berumur 40 tahun. Sampai akhir hayat Khadijah ra, Nabi Saw tidak terpikir sama sekali untuk menikah dengan perempuan lain. Ini mengherankan, karena Nabi pada saat itu, sedang dalam kondisi yang sangat prima, dan Khadijah ra sendiri tidak memberikan anak laki-laki. Jika tradisi Arab saat itu menjadi rujukan, Nabi Saw memiliki segudang alasan dan legitimasi sosial untuk melakukan poligami. Tetapi Nabi Saw memilih setia monogami sampai berumur 53 tahun. Perbandingan kehidupan monogami dan poligami Nabi Saw adalah 25 tahun berbanding 8 tahun. Perbandingan yang cukup signifikan untuk menyatakan bahwa sunnah Nabi Saw lebih berat kepada perkawinan monogami dibandingkan poligami. Nabi Saw setia monogami, justru pada saat segala kondisi kesehatan, sosial dan politik sangat memungkinkan.
عن عروة عن عائشة قالت: لم يتزوج النبي صلى الله عليه وسلم على خديجة حتى ماتت. (رواه مسلم).
"Dari Urwah, dari Aisyah ra berkata: "Nabi Saw tidak menikah lagi ketika hidup bersama Khadijah hingga dia wafat". (Riwayat Muslim).([xv])
حدثنا هشام عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها، قالت: ما غرت على امرأة ما غرت على خديجة ولقد هلكت قبل أن يتزوجني بثلاث سنين لما كنت أسمعه يذكرها ولقد أمره ربه عز وجل أن يبشرها ببيت من قصب في الجنة، وإن كان ليذبح الشاة ثم يهديها إلى خلائلها. (رواه مسلم).
"Hisyam bercerita dari ayahnya, dari Aisyah ra, berkata: Aku belum pernah cemburu terhadap perempuan, seperti yang aku rasakan ketika cemburu terhadap Khadijah. Dia telah wafat tiga tahun sebelum Nabi menikahiku. Aku cemburu, karena aku sering mendengar namanya disebut-sebut Nabi. Allah telah memerintahkan Nabi untuk memberikan kabar gembira pada Khadijah mengenai rumah bambu yang dibangu untuknya di surga. Jika Nabi menyembelih kambing, baginda akan memberikannya kepada kawan-kawan Khadijah". (Riwayat Muslim). ([xvi])
عن هشام قال: أخبرني أبي عن عائشة أنها قالت: ما غرت على امرأة لرسول الله صلى الله عليه وسلم كما غرت خديجة لكثرة ذكر رسول الله صلى الله عليه وسلم إياها وثنائه عليها وقد أوحي إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يبشرها ببيت لها في الجنة من قصب. (رواه البخاري).
"Dari Hisyam berkata: ayahnya menceritakan kepadaku, dari Aisyah ra berkata: Aku belum pernah cemburu terhadap perempuan di sisi Rasulullah Saw, seperti yang aku rasakan ketika cemburu terhadap Khadijah. Karena seringkali Rasulullah Saw menyebut-nyebut dirinya dan memujinya. Rasulullah juga telah diberi wahyu, bahwa ia bisa memberikan kabar gembira pada Khadijah mengenai rumah bambu yang dibangu untuknya di surga". (Riwayat al-Bukhari). ([xvii])
è Dari teks-teks sunnah ini, terlihat betapa Nabi Muhammad Saw sangat terkesan dengan kebersamaan baginda dalam perkawinan dengan Khadijah ra. Baginda banyak menyebutkan namanya, mengingatnya, menceritaknnya kepada orang lain dan melakukan amal-amal shadaqah atas namanya kepada para keluarganya. Perkawinan yang monogami ini sungguh sangat berkesan bagi diri baginda Nabi Muhammad Saw, sehingga ketika suatu saat Aisyah ra mencoba mengalihkan memory baginda dari Khadijah ra, Nabi Saw berbalik menegaskan kekaguman atas kebersamaan dengan Khadijah.
“Demi Allah, sungguh Allah tidak memberikan pengganti seorang perempuan untuk menjadi isteri bagiku yang lebih baik daripada Khadijah. Dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari kenabianku, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakan diriku, dan dia memban­tuku dengan harta kekayaannya ketika orang lain tidak mau memberiku, dan dari rahimnya Allah meng­anugerahkan anak-anak bagiku, yang tidak aku peroleh dari perem­puan-perempuan lainnya”.([xviii])
è Kesan Nabi Saw terhadap perkawinan bersama Khadijah, memperkuat betapa sunnah memberikan pilihan nyata terhadap monogami. Pilihan ini, lebih tegas lagi disampaikan Nabi Saw pada kasus rencana poligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika Ali ra berencana menikah lagi dengan perempuan lain, selain dengan Fathimah ra. Keluarga perempuan tersebut datang meminta izin Rasulullah karena akan menikahkan putri mereka dengan Ali ra yang sudah beristeri Fathimah ra. Baginda Rasul menolak memberikan izin. Bahkan bergegas naik di atas mimbar dan mengumumkan kepada khalayak masyarakat pada saat itu, bahwa baginda Nabi Saw tidak mengizinkan rencana Ali ra menikah lagi. Baginda kemudian  memberikan kesempatan kepada Ali ra untuk menceraikan Fathimah ra, putri baginda jika hendak menikahi putri mereka. Nabipun Saw mengungkapkan betapa baginda merasa sakit dengan kesakitan yang dialami putri Fathimah jika dipoligami.
عن المسور بن مخرمة رضي الله عنه، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول، وهو على المنبر: إن بني هشام بن المغيرة استاذنوني في أن ينكح ابنتهم علي بن أبي طالب، فلا آذن، ثم لا آذن، ثم لا آذن، إلا أن يريد ابن أبي طالب أن يطلق ابنتي وينكح ابنتهم، فإنما هي بضعة مني يريبني ما أرابها، ويؤذيني ما آذاها. (رواه البخاري ومسلم).
"Dari al-Miswar bin Makhramah berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda di atas mimbar: “Beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, -ketahuilah-, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga”. ([xix]).
è Dalam teks sunnah ini, secara tersurat disebutkan alasan Nabi Saw tidak memberikan izin poligami, yaitu karena mengganggu perasaan Fathima ra dan menyakiti hatinya. Karena itu, Imam al-Bukhari sendiri memberi judul bab untuk hadits ini dengan pernyataan "upaya keras orang tua untuk membela putrinya agar tetap diperlakukan dengan layak dan adil" (bâb dzabb ar-rajuli 'an ibnatihî fi al-ghirati wa al-ishâfi). Poligami menyakiti hati Fathima ra, sebagaimana juga menyakiti banyak perempuan. Nabi Saw merasakan sakit hati itu, dan berkewajiban membelanya agar tidak menjadi korban perlakuan yang menyakitkan.
è Ada alasan lain, yaitu karena yang ingin dinikahi Ali ra adalah putri Abu Jahl yang bernama al-Juwairiyyah. Nabi Saw tidak ingin putri Rasulullah Saw berkumpul dengan putri musuh Allah Swt. Alasan ini seringkali diungkapkan beberapa ulama. Hal itu juga secara tersurat disebutkan dalam salah satu riwayat teks sunnah.
عن المسور بن مخرمة رضي الله عنه، قال: إن عليا خطب بنت أبي جهل وعنده فاطمة ابنة النبي صلى الله عليه وسلم، فسمعت بذلك فاطمة فأتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يزعم أنك لا تغضب لبناتك، وهذا علي ناكحة ابنة أبي جهل. فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم. فسمعته حين تشهد يقول: أما بعد، فإني أنكحت أبا العاص ابن الربيع فحدثني وصدقني، وإن فاطمة بضعة مني وأنا أكره أن يسوءوها –وفي رواية أن يفتنوها- والله لا تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد أبدا. (رواه مسلم والترمذي).
"Dari al-Miswar bin Makhramah ra, berkata: bahwa Ali meminang anak perempuan Abu Jahal, padahal dia sudah beristeri Fathimah ra putri Nabi Saw. Fathimah mendengar hal tersebut, lalu mendatangi Rasulullah Saw, seraya berkata: "Dia menganggap kamu tidak akan pernah marah membela putri-putri kamu (wahai ayahku). Ini, Ali akan menikahi anak Abu Jahal". Lalu Rasulullah Saw bergegas, dan aku mendengar, setelah selesai shalat, baginda berkata: "Amma ba'du (maka setelah itu), aku telah menikahkan putriku terhadap Abu al-Ash bin ar-Rabi dan dia setia serta jujur terhadapku. Fathimah itu bagian dari diriku, aku tidak senang jika ada orang berbuat buruk terhadapnya –dalam suatu riwayat, jika ada orang yang membuat fitnah (gangguan) kepadanya-, demi Allah, tidak akan pernah bisa berkumpul putri Rasulullah dengan putri musuh Allah dalam pangkuan satu orang suami selamanya". (Riwayat Muslim dan at-Turmudzi).([xx])
è Pandangan ini perlu dipertimbangkan karena bertentangan dengan akhlak Nabi Saw yang pemaaf terhadap bekas-bekas musuh, tidak mengungkit kesalahan masa lalu dan tidak mengaitkan seseorang dengan kesalahan orang tuanya. Menjadikan 'calon isteri kedua yang anak Abu Jahal' sebagai alasan pelarangan poligami, sebenarnya sangat membingungkan dalam konteks pembicaraan mengenai kepribadian Nabi Muhammad Saw. Karena, dengan menerima alasan ini berarti kita mencitrakan Nabi Saw sebagai pendendam terhadap musuh. Padahal semua tahu, sifat Nabi Saw tidak demikian adanya. Betapa hubungan Nabi Saw dengan Abu Sufyan ra, musuh utama Nabi Saw dalam seluruh peperangan melawan Quraisy, setelah dia masuk Islam adalah sangat baik. Padahal isterinyalah yang merobek dada paman Nabi Saw Hamzah dan memakan ulu hatinya. Sebelum Abu Sufyan masuk Islampun, Nabi Saw menikahi putrinya Umm Habibah ra. Nabi Saw juga menikahi Shafiyyah putri Huyayy bin Akhthab pemimpin Kaum Bani Nadhir yang memerangi Nabi Saw sampai tetes darah penghabisan.
è Catatan relasi Nabi Saw dengan bekas-bekas musuh sangat banyak. Dan tentu banyak catatan tentang orang yang awalnya memusuhi Nabi Saw, kemudian berbalik masuk Islam dan menjadi pembela utama dan memiliki hubungan yang sangat baik dengan Nabi Saw. Sesuatu yang sangat naif, jika kemudian Nabi Saw menganggap buruk terhadap al-Juwairiyyah binti Abu Jahal, hanya karena status dia adalah anak musuh Allah. Padahal dia sendiri sudah menjadi muslimah yang baik. Islam sendiri tidak mengaitkan dosa-dosa orang lain, orang tua sekalipun, dengan anaknya.
è Nabi Saw dalam teks sunnah di atas, lebih memuji kesetiaan Abu al-Ash suami Zainab binti Muhammad Saw. Padahal Abu al-Ash hampir selama enam tahun berpisah dari Zainab yang berada di Madinah, karena ia saat itu masih berada pada barisan orang-orang kafir Quraisy di Mekkah. Tetapi Abu al-Ash tetap setia, begitu juga Zainab, sehingga ketika dia menyusul ke Madinah dan masuk Islam, Nabi Saw mempertemukan mereka kembali tanpa mengulangi pernikahan mereka sama sekali.
è Fathimah sendiri merasa sakit hati, dan perasaanya diakui Nabi Saw. Berarti, sakit hati karena poligami juga 'sunnah'. Karena ia dirasakan Fathimah ra dan diakui Nabi Saw. Perempuan  bisa tidak mengizinkan dirinya dipoligami, atau orang tua bisa tidak mengizinkan putrinya dipoligami. Penolakan ini tidak ada kaitannya dengan kurang beragama, kurang sabar, atau kurang setia terhadap suami. Penolakan merupakan hak penuh perempuan, maupun orang tua. Lebih dari itu, ia juga merupakan sunnah, yang nyata dipraktikkan Nabi Saw. Pada teks sunnah di atas, jelas sekali bagaimana Fathimah ra dan Nabi Saw menolak rencana poligami Ali ra. Dan sesuatu yang dipraktikkan Nabi Saw, atau yang diakui Nabi Saw adalah sesuatu yang disebut sunnah. Sekali lagi, menolak poligami adalah sunnah, sakit hati terhadap poligami juga sunnah.
è Dengan demikian kita tidak bisa menyatakan bahwa pelarangan Nabi Saw ini merupakan tindakan khusus, yang hanya menyangkut pribadi keluarga Nabi Saw semata. Tidak tepat juga dinyatakan, bahwa tindakan itu tidak bisa diteladani para perempuan lain, atau para orang tua lain. Pertama, karena tidak ada pernyataan dari Nabi Saw langsung bahwa tindakan itu merupakan suatu hal yang khusus bagi keluarga Nabi. Kedua, karena penolakan itu diungkapkan di atas mimbar masjid di hadapan khalayak sahabat-sahabat pada saat itu. Jika merupakan tindakan khusus, semestinya Nabi Saw tidak perlu keluar mengumumkan maklumat 'penolakan' itu ke masyarakat luas. Ketiga, karena poligami adalah persoalan parsial yang harus tunduk pada prinsip keadilan terhadap perempuan. Sehingga tanpa 'sunnah penolakan poligami' sekalipun, poligami bisa tidak diperkenankan jika melanggar prinsip-prinsip keadilan seperti yang diamanatkan al-Qur'an. Atau jika mengakibatkan kenistaan bagi perempuan.










[i]  Lihat: Ibn al-Atsir, Jâmi' al-Ushûl, juz XII, hal. 164, no. hadits: 9031.
[ii] Lihat: Ibn al-Atsir, Jâmi' al-Ushûl, juz XII, hal. 164, no. hadits: 9033.
[iii] Lihat: Ibn Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mâjah, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Maktabah Dahaln, Indonesia, tt, juz I, hal. 628, Kitab an-Nikah, no. bab: 40, no. hadits: 1952.
[iv] Lihat: Ibn al-Atsir, juz XII, hal 169, no. hadits: 9051.
[v] Lihat: Ibn al-Atsir, juz XII, hal 170, no. hadits: 9054.
[vi] Lihat: Ibn al-Atsir, juz XII, hal. 169, no. hadits: 9052.
[vii] Lihat: ash-Shan'ani, Muhammad bin Isma'il, Subûl as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Jam' Adillat al-Ahkâm, Maktabah Dahlan, tt: Bandung, juz III, hal. 165.
[viii]  Lihat: Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami, hal. 15-16.
[ix]  Shahih al-Bukhari, kitab an-Nikah, bab Katsrat an-Nisa, nomor hadits: 5069.
[x]  Lihat: Ibn Hajar al-Asqallani, Fath al-Bâri, juz X, hal. 143.
[xi] Ibid.
[xii] Lihat: az-Zarkasyi, al-Burhan, juz IV, hal. 358-376.
[xiii]  Lihat: Ibn al-Atsir, juz XII, hal 168, no. hadits: 9049.
[xiv]  Lihat: al-Mubarakfuri, Muhammad Abd ar-Rahman bin Abd ar-Rahim, Tuhfat al-Ahwadzi, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, juz IV, hal. 228.
[xv] Lihat: Ibn al-Atsir, juz X, hal. 79-80.
[xvi] Ibid.
[xvii] Ibid.
[xviii] Lihat: Aisyah bintusy-Syâthi, Istri-Istri Nabi: Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita, (terjemahan), Pustaka Hidayah, Bandung, 2001, hal. 58.
[xix] Lihat: Ibn Hajar, Fath al-Bâri, juz X, hal. 409, no. hadits: 5230.
[xx] Lihat: Ibn al-Atsir, juz XII, hal. 162-163, no. hadits: 9026.