CATATAN: Tulisan ini BUKAN dari tulisan saya (Alma’arif). Tulisan ini
adalah hand out mata kuliah hadis ahkam ketika S1 di Jurusan Tafsir dan
Hadis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang ketika itu diampu oleh Bpk.
Afdawaiza, M.Ag.
Realitas Pemahaman Masyarakat
Tidak mudah memahami kenyataan 'Nabi Saw mempraktikkan
poligami' pada realitas kita di mana poligami menjadi sesuatu yang tidak
sejalan dengan tuntutan keadilan perempuan
à Banyak orang terperdaya dengan ungkapan 'poligami itu
sunnah', atau 'poligami itu dipraktikkan Nabi'. Sehingga mereka ketakutan untuk
melakukan kritik terhadap perkawinan poligami. Karena mengkritik poligami,
-apalagi menolak dan melarangnya- dianggapnya mengkritik prilaku Nabi. Bagi
ummat Islam, melakukan kritik terhadap Nabi merupakan perbuatan tercela, bahkan
bisa dianggap sebagai tindakan kemurtadan.
à Ungkapan 'poligami itu sunnah', seringkali menjadi
motivasi praktik-praktik poligami yang saat ini marak terjadi. Dalam keadaan
demikian, sangat sulit mendudukkan pemaknaan 'sunnah' yang sesungguhnya, karena
berhadapan dengan orang-orang yang secara emosional sudah sangat
setuju dengan poligami. Sejatinya, sunnah jika didefinisikan
sebagai sesuatu yang dipraktikkan Nabi Saw, adalah banyak dan beragam. Jika
sunnah-sunnah yang beragam ini diungkapkan secara utuh sebagai dasar keputusan,
kita tidak bisa serta merta menyatakan bahwa 'poligami itu sunnah’
à Ungkapan 'poligami itu sunnah' pada praktiknya menafikan
kenyataan 'sunnah-sunnah' lain yang lebih memihak pada perkawinan monogami.
Misalnya, kenyataan bahwa Nabi Muhammad Saw lebih lama hidup dengan satu
isteri, yaitu Khadijah bint Khuwalid ra, pada saat dimana beliau masih muda
belia dan hidup di masyarakat yang hampir semuanya mempraktikkan poligami. Di
mata masyarakat Arab pada saat itu, seorang laki-laki –seperti Nabi Muhammad
Saw yang memiliki kedudukan dan ketokohan- sangat wajar melakukan poligami,
apalagi Khadijah ra sendiri jauh lebih tua dan tidak memberikan anak laki-laki.
Tetapi Nabi Saw lebih memilih setia monogami sampai akhir hayat Khadijah ra.
Ditambah dua tahun setelah kematian Khadijah ra.
à Jika sunnah diartikan sebagai sesuatu yang dipraktikkan
Nabi Saw, maka monogami inipun dipraktikkan beliau, bahkan jauh lebih lama jika
dibandingkan dengan masa poligami beliau,
yakni 28 tahun berbanding 8 tahun. Nabi Muhammad Saw hidup bahagia dengan satu orang isteri selama 28 tahun.
Kenyataan ini seringkali dilupakan umat Islam yang hanya mendengar
hiruk pikuk slogan 'poligami itu sunnah'. Masih banyak lagi sunnah-sunnah lain,
yang bisa menjadi penyeimbang ungkapan 'poligami itu sunnah', sehingga tidak
serta merta sunnah Nabi Saw diasumsikan sebagai dasar motivasi dan anjuran
praktik poligami.
Problematika
Pemaknaan Sunnah Nabi
à Pada praktiknya, sunnah baik yang berupa perkataan,
perbuatan, maupun pernyataan, lahir pada suatu masa, tempat dan kondisi
tertentu untuk merespon keadaan tertentu. Seringkali, Nabi Saw menyatakan sesuatu
atau melakukan tindakan tertentu, justru untuk merespon pertanyaan atau keadaan
yang terjadi di sekitar pada saat itu. Teks hadits mengenai bagaimana Nabi Saw
melarang sahabat memukul perempuan, sangat jelas menunjukaan betapa ada proses
negosiasi antara realitas yang dihadirkan dan respon sunnah terhadap realitas
tersebut. Mulai dari larangan untuk memukul, dibolehkan tapi tidak mencedirai,
dilarang kembali dengan menyatakan bahwa orang yang suka memukul perempuan
bukanlah orang yang terbaik dari umat Islam. Di sini, betapa sunnah melakukan
negosiasi untuk merespon tuntutan para perempuan dan pada saat yang sama juga
merespon harapan para suami. Artinya, betapa
sunnah sangat sarat dengan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat
à Sunnah, ketika sudah terkumpul menjadi teks-teks yang
tercatat, seringkali dipahami dari berbagai sisi. Ada pemahaman dari satu sisi,
yang berbeda dengan pemahaman dari sisi yang lain. Ada juga yang mencoba
memahami dari berbagai sisi yang berbeda, dengan mengumpulkan teks-teks sunnah
yang terpisah-pisah itu. Misalnya teks sunnah mengenai perintah untuk menikahi
perempuan yang subur dan penuh kasih sayang. Pernyataan Nabi dilatarbelakngi oleh
sahabat yang minta izain untuk menikahi perempuan yang punya posisi sosial dan
kecantikan, kemudian Nabi melarangnya sampai 3 kali. Apakah perintah nabi itu
juga untuk orang lain, Apakah setiap
orang diperintahkan untuk hanya menikahi perempuan yang subur dan penuh cinta
kasih semata? Lalu bagaimana nasib perempuan yang tidak subur dan kurang rasa
cinta kasih? Apakah mereka tidak berhak menikah? Apakah perintah Nabi ini
merupakan kewajiban agama, atau anjuran semata? Apakah memang benar-benar
anjuran yang mengikat semua orang, atau hanya untuk kondisi dan keadaan
tertentu? Apakah kita bisa mengambil keputusan, dengan mendasarkan pada sunnah
pernyataan tersebut, bahwa dalam sunnah Nabi perempuan yang layak dinikahi
adalah yang subur dan penuh cinta kasih? Bagaimana dengan sunnah Nabi lain,
yang ternyata Nabi sendiri menikahi perempuan-perempuan yang tidak subur?
à Artinya, pemahaman yang simplistis, seringkali hanya melihat sunnah
dari satu sisi semata, tanpa mempertimbangkan sisi yang lain, atau
sunnah-sunnah yang lain. Keputusan apapun yang diambil mengenai 'sunnah
menikah' dari teks hadits di atas adalah pemahaman terhadap sunnah, bukan
sunnah itu sendiri. Karena ketika suatu teks hadits atau sunnah keluar dari
realitas Nabi Saw, maka sesungguhnya ia sudah menjadi penangkapan (baca:
pemaknaan) penerima dan pendengarnya; sahabat sebagai penerima pertama,
tabiin sebagai penerima kedua dan begitu seterusnya. Ia tidak lagi menjadi
sunnah dalam artinya yang utuh sebagai Nabi Saw itu sendiri. Catatan mengenai
sunnah, seringkali tidak menyertakan kondisi dan realitas yang mengitari yang
justru menjadi sebab kelahiran sunnah tersebut. Sehingga tidak heran kalau
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa sumber
kesialan itu ada 3; kuda, perempuan dan rumah, yang akhirnya dibantah oleh
Aisyah. Inilah penyebab orang salah paham
terhadap pengertian sunnah Nabi, termasuk dalam hal ini adalah masalah
poligami.
à Membumikan keteladanan sunnah Nabi Saw berarti memaknai
teks-teks hadits sesuai dengan konteks ketika ia muncul, kemudian ditarik untuk
disesuaikan dengan kondisi penerapan dan implementasi. Hadits-hadits mengenai
larangan mencukur rambut bagi perempuan, membuat tato, menyambung rambut,
mencukur alis, atau yang lain, dinyatakan dalam konteks di mana
perbuatan-perbuatan tersebut pada zaman dulu menjadi ciri khas perempuan
pelacur yang tidak memliki harga diri. Artinya, larangan tidak mengarah kepada
perbuatan tetapi kepada sesuatu yang memotivasi perbuatan tersebut. Yaitu
menghancurkan kehormatan dan harga diri perempuan. Karena, mencukur atau
menyambung rambut adalah salah satu cara untuk berhias, sama seperti bercelak
dan menggosok gigi. Kalau berhias itu dilarang, maka jenis apapun dan untuk
siapapun juga harus dilarang. Tetapi ternyata Islam memperkenankan seseorang,
termasuk perempuan untuk berhias, selama tidak digunakan untuk hal-hal yang
menistakan harga dirinya
à Jika metode yang demikian diterapkan untuk memaknai
sunnah-sunnah yang terkait dengan isu poligami, mungkin tidak akan muncul
simplisitas ungkapan 'poligami itu sunnah', sebagai sebuah ungkapan motivasi,
anjuran dan semangat keberagamaan. Di samping sunnah poligami bisa dipahami
dari berbagai sisi, juga banyak sunnah-sunnah lain yang bisa dicatat sebagai
bahan pertimbangan memahami secara utuh apa sesungguhnya makna 'sunnah
poligami'. Ketika sunnah dimaknai sebagai pernyataan dan tindakan Nabi saw, maka
ada ragam sunnah yang terkait dengan poligami .
Juga merupakan sunnah untuk merasa
sakit dan menolak rencana poligami Ali bin Abi Thalib terhadap putri Fathimah
bint Nabi Saw, dan sunnah mempersilakan Ali untuk memilih mencerai Fathimah dan
mengawini perempuan lain, atau tetap dengan Fathimah dan tidak mengawini
perempuan lain.
Sunnah Poligami Nabi
à Jika Sunnah Nabi hanya dipahami
sebagai kewenangan berpoligami belaka mungkin mudah diterapkan. Apalagi jika dibarengi dengan dorongan emosi dan
kebutuhan seksual. Pemahaman seperti ini disamping terlalu menyederhanakan
persoalan, juga bisa menyesatkan. 'Sunnah poligami' yang sesungguhnya tidak
sekedar boleh berpoligami, tetapi menyangkut seluruh prilaku dan tindakan Nabi
dalam persoalan poligami. Karena sunnah, seperti didefinisikan para ulama
adalah seluruh tindakan, prilaku dan ucapan Nabi Saw. Maka 'sunnah poligami'
adalah seluruh prilaku dan tindakan Nabi Saw yang terkait dengan poligami,
kenapa, berapa dan bagaimana perlakuan yang diberikan ketika berinteraksi
dengan para isteri.
1. Jumlah
Poligami
à Untuk persoalan jumlah, seluruh ulama sepakat untuk
mengharamkan 'mengikut jejak sunnah Nabi'. Seperti diketahui dalam catatan
sejarah kita, Nabi Saw menikahi lebih dari empat orang perempuan. Ketika Nabi
Saw wafat, yang tercatat sebagai isteri baginda pada saat itu berjumlah
sembilan orang. Tetapi semua ulama mengharamkan keteladanan 'sunnah' menikah
dengan lebih dari empat orang perempuan. Karena Nabi Saw sendiri hampir tiga
kali memerintahkan beberapa sahabat untuk menceraikan isteri di atas empat
orang. Yaitu yang diungkapkan terhadap Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi ra, Wahb
al-Asady ra dan Qays bin al-Harits ra:
عن ابن عمر أن غيلان
بن سلمة الثقفي أسلم وله عشر نسوة في الجاهلية فأسلمن معه فأمره النبي صلى الله
عليه وسلم أن تخير أربعا منهن. (رواه الترمذي).
"Dari Ibn Umar ra berkata: bahwa
Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam dan memiliki sepuluh orang isteri pada
masa Jahiliyah (sebelum masuk Islam), bersamanya mereka juga masuk Islam, lalu
Nabi menyuruhnya untuk memilih empat orang saja dari mereka". (Riwayat
at-Turmudzi).([i])
قال مسدد ابن عميرة،
قال: وهب الأسدي: أسلمت وعندي ثمان نسوة فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم، فقال
النبي صلى الله عليه وسلم: اختر منهن أربعا. (رواه أبو داود).
"Musaddad bin Umairah berkata:
bahwa Wahb al-Asadi berkata: Aku masuk Islam dan saat itu aku memiliki delapan
orang isteri. Ketika aku sampaikan hal tersebut kepada Nabi Saw, baginda
berkata: "Pilihlah empat orang saja dari mereka". (Riwayat Abu
Dawud).([ii]).
عن حميضة بنت الشمردل
عن قيس بن الحارث قال: أسلمت وعندي ثمان نسوة فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم
فقبلت ذلك له، فقال: اختر منهن أربعا. (رواه ابن ماجه).
"Dari Humaidhah bin Syarmadal, dari Qays bin al-Harits
berkata: Aku masuk Islam dan aku memiliki delapan orang isteri. Ketika hal itu
aku sampaikan kepada Nabi Saw, baginda berkata: pilihlah empat orang saja dari
mereka". (Riwayat Ibn Majah). ([iii]).
è Dengan ketiga teks sunnah ini, ulama sepakat
untuk menyatakan bahwa 'sunnah menikah lebih dari empat orang perempuan'
adalah merupakan suatu tindakan khusus bagi Nabi Saw yang tidak boleh
diteladani siapapun dari ummatnya. Yang diperkenankan bagi ummat selain
Nabi Muhammad Saw, adalah hanya empat, bukan seperti yang dilakukan Nabi Saw
sembilan orang. Kesimpulan ulama ini, setidaknya mengindikasikan bahwa
'sunnah poligami' tidak bisa dipahami persis seperti yang dilakukan Nabi Saw
pada saat itu. Ulama telah melakukan pemaknaan ulang terhadap 'sunnah
poligami', dengan membaca dan mempertimbangkan 'sunnah-sunnah' yang lain.
2. Sunnah
Menggilir Istri
è Jika kita membaca salah satu rujukan
kitab hadits, misalnya kitab Subul as-Salâm karya Imam ash-Shan'âni
(Muhammad bin Isma'il al-Kahlani, w. 1182H), atau kitab Nayl al-Awthâr
karya Imam asy-Syawkâni (Muhammad bin Ali bin Muhammad, w. 1255H), kita akan
menemukan betapa konsistennya Nabi Saw memperlakukan isteri-isteri dengan adil
dan merata dalam hal nafakah dan bergilir menginap malam hari. Jika satu orang
isteri ditemani selama satu malam, maka yang lain juga harus dapat giliran satu
malam. Jika giliran pada salah seorang isteri menjadi dua malam, maka setiap
isteri yang lain juga memperoleh giliran yang sama dua malam. Nabi Saw selalu
menjaga agar giliran ini tetap diperoleh setiap isteri dengan adil dan rata.
Tidak ada satu orang isteripun yang dilewati tanpa memperoleh giliran yang sama
dan rata, kecuali dengan seizin isteri tersebut dan tanpa menyakiti hatinya.
عن عائشة رضي الله
عنها، قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم بين نسائه ويعدل، ويقول: اللهم
هذا قسمي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولا أملك. (رواه الترمذي والنسائي).
"Dari
Aisyah ra berkata: bahwa Rasulullah Saw selalu bergilir di antara isteri-isteri
dengan adil. Dan baginda berdoa: "Ya Allah, tindakan bergilir seperti ini
yang aku miliki dan (mampu aku lakukan), maka janganlah menyalahkanku pada
sesuatu yang Engkau miliki tetapi tidak aku miliki". Riwayat at-Turmudzi dan an-Nasa'i.
عن أم سلمة رضي الله
عنها، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما تزوجها أقام عندها ثلاث، وقال: إنه ليس
بك على أهلك هوان، إن شئت سبعت لك، وإن سبعت لك سبعت لنسائي. (رواه مسلم).
"Dari Umm
Salamah ra berkata, bahwa ketika Rasulullah Saw menikahi dirinya, baginda
menginap bersamanya selama tiga malam. Baginda berkata: "Bukan karena
suamimu lemah, tetapi kalau kamu mau aku di sini tujuh malam, bisa saja, tetapi
jika demikian, maka aku juga harus menginap tujuh malam dengan isteri-isteri
yang lain". (Riwayat Muslim).
وعن عروة قال: قالت
عائشة: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يفضل بعضنا على بعض في القسم من مكثه
عندنا، وكان قل يوم يأتي إلا وهو يطوف علينا جميعا، فيدنو من كل امرأة من غير
مسيس، حتى يبلغ التي هو يومها، فيبيت عندها. (رواه أبو داود).
"Dari Urwah berkata, bahwa Aisyah ra berkata: Bahwa
Rasulullah Saw tidak pernah melebihkan kewajiban bergilir terhadap salah satu
di antara kami, (dan mengurangi yang lain). Hampir setiap hari baginda
mendatangi kami semua, mendekat kepada setiap isteri, tapi tidak melakukan
persetubuhan, kemudian terakhir sampai pada rumah isteri yang memperoleh
gilirian dan menginap di rumah tersebut". (Riwayat
Abu Dawud).([iv])
عن عائشة رضي الله
عنها، قالت: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث إلى النساء –يعني في مرضه-
فاجتمعن. فقال: إني لا أستطيع أن أدور بينكن، فإن رأيتن أن تأذن لي، فأكون عند
عائشة فعلتن، فأذن له. (رواه أبو داود).
"Dari Aisyah ra, berkata: Bahwa Rasulullah Saw memanggil
isteri-isteri, ketika baginda sakit akhir hayat, kemudian mereka berkumpul.
Nabi berkata kepada mereka: "Aku sudah tidak mampu lagi mengunjungi kalian
semua, jika kamu memandang bisa mengizinkan kepadaku untuk tinggal di rumah
Aisyah, maka lakukanlah. Mereka kemudian mengizinkan baginda".
(Riwayat Abu Dawud).([v]).
è Seperti yang terekam dalam teks-teks
sunnah tersebut, Nabi Saw selalu setia untuk bergilir dengan merata dan adil,
tidak melebihi yang satu atau mengurangi yang lain, apalagi meninggalkan kewajiban
tersebut dari salah seorang isteri. Setiap hari, memang Nabi Saw mengunjungi
semua isteri-isteri, satu persatu, tetapi pada malam hari tetap menginap pada
giliran waktu yang telah dibagi. Bahkan pada akhir hayat ketika sakit, Nabi Saw
harus memohon izin dulu kepada mereka semua agar bisa menginap di rumah Aisyah
ra saja, karena keterbatasan fisik yang lemah akibat sakit. Dengan teks-teks
sunnah ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang suami pelaku poligami
diwajibkan melakukan pembagian yang rata dan adil pada hal-hal bersifat
material. Seperti bergilir malam, rumah, pakaian dan makanan. Terutama bergilir
malam, hampir seluruh ulama madzhab menyatakannya sebagai kewajiban. Saat ini,
para pelaku poligami sudah tidak lagi mengindahkan 'sunnah bergilir' secara
adil dan merata. Mereka menginap dan bergilir sesuai kehendak hati mereka. Dan
seringkali lebih banyak bersama dengan isteri yang paling mereka cintai,
biasanya adalah yang termuda dan tercantik, suatu yang sangat bertolak belakang
dengan poligaminya Nabi.
è Kebanyakan dari pelaku poligami tidak
mengetahui mengenai sunnah 'kewajiban bergilir' secara merata dan adil.
Kalaupun tahu, mereka berdalih dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Mereka
merasa kesulitan untuk melakukan 'sunnah bergilir secara merata' karena faktor
pekerjaan, tempat yang jauh dan waktu yang sudah tidak memungkinkan. Dikatakan,
bagi Nabi Saw, bergilir itu amat mudah karena rumahnya berbentuk kamar-kamar
yang berdampingan satu isteri dengan yang lain. Kesibukan Nabi pun belum
terbagi seperti yang terjadi pada saat sekarang ini, yang harus berpindah dari
satu tempat ke tempat lain, bahkan antar kota dan antar negara. Karena rumah
dan kesibukan yang masih sederhana, pembagian waktu bergilir secara merata
tidak menghadapi persoalan. Saat ini, ketika pekerjaan sudah semakin kompleks,
putaran hari yang dalam seminggu berjumlah tujuh hari sama sekali tidak mungkin
untuk dibagi dua isteri, tiga atau empat. Apalagi jika mempertimbangkan hari
libur, yang biasanya hanya satu atau dua hari dalam seminggu. Belum lagi
hari-hari libur lain dalam setahun. Semua itu tidak mungkin dibagi secara adil
dan merata dalam menggilir isteri-isteri.
è Orang yang memegang prinsip 'poligami
boleh', menganggap 'sunnah bergilir' tidak lagi relevan dan tidak perlu lagi
diterapkan. Karena jika harus diterapkan, maka tidak akan bisa satu orangpun
yang berpoligami. Mereka sebenarnya tanpa sadar telah menafikan sesutau yang
jelas dan nyata adalah sunnah. Bahkan, sunnah yang secara eksplisit mewajibkan
untuk berlaku adil dan merata.
è Jika pernyataan mereka dibenarkan,
maka yang sebaliknya juga semestinya bisa dibenarkan. Yaitu, bahwa 'sunnah
bergilir' semestinya harus tetap diberlakukan sebagai manifestasi dari prinsip
keadilan yang diperintahkan al-Qur'an. Justru 'sunnah poligami' yang harus
ditangguhkan ketika 'sunnah bergilir' tidak bisa dipraktikkan pada aras
realitas. Jika 'sunnah bergilir' bisa dilikuidasi demi 'keberlangsungan
poligami', maka berarti sunnah 'kewenangan poligami' juga bisa dihentikan demi
sesuatu yang lebih besar, yaitu prinsip keadilan. Ini memang permainan logika,
tetapi simplisitas ungkapan 'poligami sunnah' adalah sesuatu yang rancu dan
naif. Ungkapan ini hanya melihat sunnah tertentu, dan meninggalkan
sunnah-sunnah yang lain. Setidaknya, dari logika ini bisa dipahami bahwa
pernyataan 'poligami itu sunnah' tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Dengan
melihat 'sunnah bergilir' saja misalnya, yang tidak lagi diterapkan suami
pelaku poligami, betapa mengikuti keteladanan 'sunnah poligami' sesungguhnya
sesuatu yang sulit dilakukan untuk benar-benar seperti sunnah Nabi Saw.
3. Sunnah
Undian Giliran Bepergian
è Begitu juga dalam hal 'sunnah
bepergian' bagi pelaku poligami, juga menyiratkan hal yang sama. Sesuatu yang
bagi banyak ulama sebagai sunnah, tidak lagi banyak diperhatikan para pelaku
poligami dengan seksama, apalagi diterapkan dalam praktik-praktik poligami yang
terjadi. Dalam sunnah, suami yang memiliki lebih dari seorang isteri harus
selalu mengundi dengan siapa –isteri yang mana- dia akan bepergian. Ternyata
ini juga sangat jauh dengan apa yang terjadi pada masa sekarang ini. Dalam
suatu teks sunnah disebutkan:
عن عائشة رضي الله
عنها، قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أراد سفرا أقرع بين نسائه،
فأيتهن خرج سهمها خرج بها معه، وكان يقسم لكل امرأة منهن يومها وليلتها، غير أن
سودة بنت زمعة وهبت يومها وليلتها لعائشة زوج النبي، تبتغي بذلك رضا رسول الله صلى
الله عليه وسلم. (رواه البخاري ومسلم وأبو داود).
"Dari Aisyah ra berkata: bahwa Rasulullah Saw apabila mau
bepergian, baginda akan mengundi para isteri, siapa yang keluar undiannya,
dialah yang akan keluar pergi bersama menemani baginda. Baginda juga selalu
bergilir kepada setiap isteri untuk siang dan malam, hanya Sawdah bint Zam'ah
yang menghibahkan kesemapatan gilrinya untuk bagian Aisyah, isteri Nabi, dia
berharap akan memperoleh kerelaan dari Rasulullah Saw".
(Riwayat Bukhari Muslim).([vi])
è Dengan teks sunnah ini, bagi Imam
Syafi'i (Muhammad bin Idris, w. 204H), mengundi isteri untuk bepergian,
hukumnya adalah wajib. Seorang suami tidak diperkenankan untuk bepergian dengan
salah seorang isteri atau lebih dengan pilihan dia sendiri. Dia bisa bepergian
dengan tanpa ditemani isteri sama sekali, tetapi tidak diperkenankan ditemani
isteri dengan tanpa pengundian terlebih dahulu. Jika tanpa pengundian, dia
diwajibkan untuk mengganti seluruh masa yang dihabiskan untuk bepergian, dengan
menggauli isteri yang tidak diajak bepergian.([vii])
è Kenyataannya, seringkali suami ingin
bepergian dengan orang yang nyaman bagi dirinya. Pertanyaanya, mengapa kalau
'bepergian dengan membawa isteri melalui cara pengundian' susah diterapkan,
lalu yang ditangguhkan adalah sunnah 'mengundi', dan tidak menangguhkan
pangkalnya, yaitu 'poligami'? Jika poligami menyebabkan berbagai sunnah lain
yang terkait sulit diterapkan, maka semestinya 'poligami' itu sendiri yang
dihentikan, agar tidak terjadi penyelewengan terhadap sunnah-sunnah lain yang
justru menjadi media prinsip keadilan.
è Dengan membaca 'sunnah bergilir' dan
'sunnah mengundi', kita bisa melihat betapa poligami yang dipraktikkan Nabi Saw
sarat dengan upaya-upaya melakukan pemerataan untuk kepentingan para isteri.
Nabi Saw mengikatkan diri pada tindakan-tindakan yang bertujuan memberikan
kepuasan terhadap semua isteri, tanpa membedakan satu dari yang lain.
Ikatan-ikatan ini sangat susah bisa dipraktikkan orang lain, selain Nabi Saw.
Kita bisa memahami bahwa ikatan-ikatan ini sengaja ditunjukkan Nabi Saw agar
umat Islam tidak mempermudah tindakan poligami, dengan memperlihatkan bagaimana
diri Nabi Saw harus terikat dengan kewajiban-kewajiban yang sulit dipraktikkan
orang lain. Atau setidaknya, sunnah 'bergilir' dan 'mengundi' ini bisa
mempertontokan betapa klaim 'kewenangan poligami' sebagai sesuatu yang sunnah, –jika tidak
dibarengi dengan kedua sunnah tersebut- merupakan tindakan gegabah dan tidak
mencerminkan 'sunnah poligami' yang sesungguhnya. Ini masih belum lagi, jika
pembacaan 'sunnah poligami' disandingkan dengan sunnah-sunnah lain; seperti
kenyataan Nabi Saw baru menikah lagi ketika berumur 55 tahun, dan kebanyakan dengan
para janda yang sudah berumur. Sungguh, jika 'sunnah poligami' hanya dipahami
sebatas 'kewenangan berpoligami' secara mutlak, adalah suatu pemahaman yang
naif dan absurd. Lebih buruk lagi, jika 'sunnah poligami' dipahami sebagai
suatu anjuran untuk berpoligami, atau penilaian keber-agama-an seseorang sejauh
mana ia sanggup berpoligami, atau bersedia dipoligami.
Anjuran Berpoligami
è Banyak sekali orang yang berbicara
mengenai poligami dengan tanpa dasar sama sekali. Fakta bahwa Nabi Saw
berpoligami misalnya, dipahami sebagai sebuah anjuran bagi ummatnya untuk
berpoligami. Pemahaman yang simplistis ini sesungguhnya membahayakan
kelangsungan peradaban umat Islam. Seringkali, dengan pemahaman seperti ini
umat Islam lebih memilih membangun masjid, sekalipun masjid sebenarnya sudah
ada, daripada membangun jembatan, jalan, wc umum, atau membuka sungai dan
sawah. Karena Nabi Saw pernah membangun masjid, maka orang Islam berlomba-lomba
untuk membangun masjid di manapun dengan atas nama diri masing-masing, dan mengabaikan
kewajiban-kewajiban lain yang menyentuh kebutuhan riil masyarakat banyak
sehari-hari. Membangun masjid dianggap sebagai suatu sunnah yang harus selalu
dilakukan pada setiap kemampuan. Berbeda dengan membangun sarana-sarana umum,
yang bukan merupakan kewajiban ummat Islam, dan bukan merupakan tindakan sunnah
keteladanan Nabi Saw. Membangun sarana umum biarlah merupakan kewajiban
pemerintah sekuler, atau menjadi program orang-orang barat yang materialis dari
dana-dana pajak atau bantuan negara-negara barat.
è Sama persis dengan persoalan poligami.
Fakta bahwa 'Nabi berpoligami' dipahami sebagai anjuran untuk mengikuti
tindakan poligami Nabi sebagai sesuatu yang sunnah dan mulia. Padahal, secara
eksplisit tidak ada anjuran dari Nabi Saw kepada umat Islam untuk berpoligami.
Fakta bahwa Nabi Saw berpoligami tidak bisa dipahami sebagai sebuah anjuran,
karena banyak fakta lain yang lebih kuat –berupa pernyataan eksplisit- yang
justru mengkritik prilaku poligami. Bahasa tutur, dalam pembahasan disiplin
ilmu ushul fiqh, lebih kuat dibanding bahasa tindakan. Karena bahasa tutur
lebih jelas dan lebih tegas mengisyaratkan pada persoalan secara lebih jelas
dan tegas. Sepanjang bacaan terhadap kitab-kitab komentar (syarh)
hadits, seperti Fath al-Bâri karya (w. 852H) al-'Asqallâni, Subul as-Salâm
karya ash-Shan'âni (w. 1182H) dan Nayl al-Awthâr karya asy-Syawkâni (w.
1255H), tidak ditemukan pernyataan ulama bahwa ada sunnah yang menganjurkan
poligami. Sekalipun mereka tahu bahwa Nabi Saw melakukan poligami, tetapi tidak
satupun dari mereka yang mendasarkan kepadanya untuk menganggap poligami
sebagai suatu anjuran Nabi Saw.
è Pada teks yang ketiga, sepertinya
secara eksplisit disebutkan 'orang yang paling baik dari ummat ini adalah ia
yang beristeri banyak'. Teks ini bisa dipahami sebagai isyarat anjuran
terhadap poligami. Teks inilah yang dijadikan dasar oleh Ustadz Muhammad Thalib
untuk mengungkapkan seruan terhadap poligami. Bahkan menjadikannya sebagai
dasar untuk mengungkapkan bahwa muslim yang berpoligami lebih baik dari yang
monogami, karena poligami merupakan ciri pertanggung-jawaban dan ketangguhan
kepribadian muslim.([viii])
Pada pernyataan Ibn Abbas ra ini, perlu ada pembahasan yang lebih panjang
Lengkapnya, teks tersebut adalah sebagai berikut:
عن طلحة اليامي عن
سعيد بن جبير قال: قال لي ابن عباس هل تزوجت؟ قلت: لا، فتزوج فإن خير هذه الأمة
أكثرها نساء. (رواه البخاري).
"Dari Thalhah al-Yami, dari Said bin Jubair, berkata: Ibn
Abbas bertanya kepadaku: "Kamu sudah kawin?" Aku menjawab:
"Belum". Ibn Abbas berkata: "Nikahlah, karena sebaik-baik orang
dari ummat ini adalah yang paling banyak isterinya".
(Riwayat al-Bukhari).([ix])
è Seperti yang terbaca, teks di atas
merupakan dialog antara Said bin Jubair yang belum memilih untuk kawin dengan
Ibn Abbas yang menyarankan untuk cepat menikah. Dalam riwayat lain, disebutkan
bahwa Said bin Jubair pada saat itu masih sangat muda dan belum tumbuh rambut
di wajah. Dia menjawab: "Saya belum menginginkan nikah pada saat sekarang
ini". Atau dalam riwayat lain: "Kenapa saya harus menikah".([x])
Dengan melihat latar belakang ini, adalah sesuatu yang tidak tepat jika
pernyataan Ibn Abbas dianggap sebagai seruan terhadap poligami, karena Said bin
Jubair sendiri belum menikah, atau belum memiliki keinginan untuk menikah
karena saat itu umurnya masih muda, atau karena memang dia benar-benar belum
tertarik untuk menikah. Pada konteks ini, yang tepat adalah mengajaknya untuk
menikah dan belum waktunya untuk mengajak berpoligami.
è Tetapi memang secara literal, kalimat
yang diungkapkan Ibn Abbas bisa dianggap sebagai seruan terhadap poligami. Ibn
Hajar al-Asqalani (pensyarah sahih Bukhari) sendiri menyitir kemungkinan ini,
yang disuarakan sebagian orang. Tetapi Ibn tidak sependapat, karena itu
menyebutkannya dengan pernyataan 'qîla', sebuah ungkapan yang dalam
disiplin ilmu hadits mengindikasikan pada kelemahan sumber dan rujukan. Kata
Ibn Hajar: "Dikatakan ada pandangan yang berkata: maksud kalimat
tersebut adalah bahwa sebaik-baik ummat ini adalah ia yang terbanyak isterinya,
(perbandingan ini) di antara mereka yang memiliki keutamaan sepadan".
Ibn Hajar sendiri lebih memilih bahwa kalimat Ibn Abbas mengisyaratkan adanya
perbandingan antara mereka yang menikah dan mereka yang memilih untuk tidak
menikah, atau belum menikah. Yang dimaksud dari kata 'al-khair' adalah
Nabi Muhammad Saw sendiri. Karena yang terbaik dari ummat Islam, tentu adalah
Nabi Muhammad Saw, dan tidak ada yang terbaik dari baginda. Kalimat Ibn Abbas,
oleh Ibn Hajar diartikan dengan sebaik-baik ummat adalah Nabi Muhammad yang
menikah, bahkan dengan banyak isteri. Kalimat Ibn Abbas ini, kata Ibn Hajar,
mengisyaratkan bahwa menikah lebih baik daripada tidak atau belum menikah. Jika
tidak lebih baik, tidak mungkin Nabi Saw memilih menikah, bahkan dengan lebih
dari seorang perempuan. Pada akhir pembahasan, Ibn Hajar tetap konsisten untuk
menyatakan bahwa pada teks hadits ada seruan untuk menikah dan meninggalkan
tradisi selibat (ar-rahbaniyyah). Tanpa menyinggung sedikitpun terhadap
ungkapan anjuran atau apresiasi terhadap praktik berpoligami.([xi])
è Walau bagaimanapun, kalimat Ibn Abbas
ra bukan hadits atau sunnah seperti yang telah didefinisikan pada awal tulisan.
Teks itu bukan merupakan pernyataan, tindakan atau penetapan dari Nabi Muhammad
Saw. Kalimat itu adalah pernyataan dari seorang sahabat Ibn Abbas ra dalam
dialognya denga teman sejawatnya. Pernyataan sahabat, seperti dikatakan
beberapa ulama, termasuk Imam Syafi'i, tidak serta merta bisa menjadi dasar
hukum suatu keputusan agama.([xii])
Yang jelas tidak ada pernyataan langsung dari sunnah Nabi Saw, yang
menganjurkan poligami atau mengapresiasi poligami sebagai suatu tuntutan
keagamaan. Sebaliknya, ada beberapa teks sunnah yang justru mengkritik tindakan
poligami. Tentu saja, seperti ayat al-Qur'an, kritik diarahkan pada praktik
poligami yang seringkali dibarengi dengan tindak ketidak-adilan terhadap para
isteri.
Kritik Terhadap Poligami
è Kedisiplinan yang sangat tinggi dalam
perkawinan poligami, pada konteks masyarakat yang sangat permisif terhadap
poligami, adalah suatu kritik yang nyata dan tajam. Kritik ini lebih nyata
diungkapkan Nabi Saw terhadap mereka yang berpoligami, tetapi tidak bisa
meneladani sunnah 'keadilan terhadap isteri-isteri' yang diperintahkan. Nabi
Saw mengancam kepada mereka yang berpoligami, tetapi memiliki kecenderungan lebih
terhadap salah satu isteri dari isteri-isteri yang lain.
عن أبي هريرة رضي
الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من كانت له امرأتان فلم يعدل
بينهما جاء يوم القيامة وشقه ساقط. وعند أبي داود: من كانت له امرأتان فمال إلى
إحداهما جاء يوم القيامة وشقه مائل. وعند النسائي: يميل لإحداهما على الأخرى جاء
يوم القيامة أحد شقيه مائل. (رواه أبو داود والترمذي والنسائي).
"Dari Abu Hurairah ra: Bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Barangsiapa yang memiliki dua orang isteri, kemudian dia tidak berbuat adil
terhadap keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dan separoh
tubuhnya jatuh (terbelah). Dalam riwayat Abu Dawud: Barangsiapa yang memiliki
dua orang isteri, kemudian ia cenderung kepada salah satu dari keduanya, maka
ia datang di hari kiamat kelak dan separoh tubuhnya terlepas. Dalam riwyat
an-Nasa'i: dia cenderung kepada salah seorang dari keduanya, maka ia akan
datang pada hari kiamat dan separoh anggota tubuhnya terlepas".
(Riwayat Abu Dawud, at-Turmudzi dan an-Nasa'i).([xiii])
è Dalam komentar al-Mubarakfuri
(Muhammad Abd ar-Rahman bin Abd ar-Rahim, w. 1353), ada riwayat lain yang
menegaskan bahwa orang tersebut di hari kiamat akan menyeret-nyeret separoh
tubuhnya yang terjatuh ke lantai. Ungkapan ini merupakan gambaran penyiksaan
yang pedih dan dahsyat.([xiv])
Sesuatu tidak akan diancam dengan siksaan yang pedih, kecuali karena sesuatu
tersebut dilarang agama dan termasuk perbuatan dosa. Berbuat tidak adil
terhadap isteri-isteri dalam perkawinan poligami adalah perbuatan dosa yang
mengakibatkan siksaan di akhirat nanti.
è Ada model kritik lain dari sunnah Nabi
Saw terhadap praktik poligami, seperti pujian terhadap kehidupan monogami
baginda dengan Khadijah ra, tidak mengizinkan Ali ra mempoligami Fathima ra dan
mempersilakan Ali ra untuk memilih mencerai Fathimah ra untuk mengawini
perempuan lain, atau tetap dengan Fathimah ra tanpa menikahi perempuan lain.
Semua ini merupakan bentuk kritik sunnah terhadap praktik poligami, yang jika
dipahami secara utuh, sebenarnya sunnah Nabi Saw pada tataran ideal justru
memilih monogami.
Sunnah Memilih Monogami
è Dalam banyak catatan, Nabi Saw
seringkali memuji kehidupannnya bersama Khadijah ra yang dinikahinya ketika
berumur 25 tahun sedangkan dia berumur 40 tahun. Sampai akhir hayat Khadijah
ra, Nabi Saw tidak terpikir sama sekali untuk menikah dengan perempuan lain.
Ini mengherankan, karena Nabi pada saat itu, sedang dalam kondisi yang sangat
prima, dan Khadijah ra sendiri tidak memberikan anak laki-laki. Jika tradisi
Arab saat itu menjadi rujukan, Nabi Saw memiliki segudang alasan dan legitimasi
sosial untuk melakukan poligami. Tetapi Nabi Saw memilih setia monogami sampai
berumur 53 tahun. Perbandingan kehidupan monogami dan poligami Nabi Saw adalah
25 tahun berbanding 8 tahun. Perbandingan yang cukup signifikan untuk
menyatakan bahwa sunnah Nabi Saw lebih berat kepada perkawinan monogami
dibandingkan poligami. Nabi Saw setia monogami, justru pada saat segala kondisi
kesehatan, sosial dan politik sangat memungkinkan.
عن عروة عن عائشة
قالت: لم يتزوج النبي صلى الله عليه وسلم على خديجة حتى ماتت. (رواه مسلم).
"Dari Urwah, dari Aisyah ra
berkata: "Nabi Saw tidak menikah lagi ketika hidup bersama Khadijah hingga
dia wafat". (Riwayat Muslim).([xv])
حدثنا هشام عن أبيه
عن عائشة رضي الله عنها، قالت: ما غرت على امرأة ما غرت على خديجة ولقد هلكت قبل
أن يتزوجني بثلاث سنين لما كنت أسمعه يذكرها ولقد أمره ربه عز وجل أن يبشرها ببيت
من قصب في الجنة، وإن كان ليذبح الشاة ثم يهديها إلى خلائلها. (رواه مسلم).
"Hisyam
bercerita dari ayahnya, dari Aisyah ra, berkata: Aku belum pernah cemburu
terhadap perempuan, seperti yang aku rasakan ketika cemburu terhadap Khadijah.
Dia telah wafat tiga tahun sebelum Nabi menikahiku. Aku cemburu, karena aku
sering mendengar namanya disebut-sebut Nabi. Allah telah memerintahkan Nabi
untuk memberikan kabar gembira pada Khadijah mengenai rumah bambu yang dibangu
untuknya di surga. Jika Nabi menyembelih kambing, baginda akan memberikannya
kepada kawan-kawan Khadijah". (Riwayat Muslim). ([xvi])
عن هشام قال: أخبرني
أبي عن عائشة أنها قالت: ما غرت على امرأة لرسول الله صلى الله عليه وسلم كما غرت
خديجة لكثرة ذكر رسول الله صلى الله عليه وسلم إياها وثنائه عليها وقد أوحي إلى
رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يبشرها ببيت لها في الجنة من قصب. (رواه البخاري).
"Dari Hisyam berkata:
ayahnya menceritakan kepadaku, dari Aisyah ra berkata: Aku belum pernah cemburu
terhadap perempuan di sisi Rasulullah Saw, seperti yang aku rasakan ketika
cemburu terhadap Khadijah. Karena seringkali Rasulullah Saw menyebut-nyebut dirinya
dan memujinya. Rasulullah juga telah diberi wahyu, bahwa ia bisa memberikan
kabar gembira pada Khadijah mengenai rumah bambu yang dibangu untuknya di
surga". (Riwayat al-Bukhari). ([xvii])
è Dari teks-teks sunnah ini, terlihat
betapa Nabi Muhammad Saw sangat terkesan dengan kebersamaan baginda dalam
perkawinan dengan Khadijah ra. Baginda banyak menyebutkan namanya,
mengingatnya, menceritaknnya kepada orang lain dan melakukan amal-amal shadaqah
atas namanya kepada para keluarganya. Perkawinan yang monogami ini sungguh
sangat berkesan bagi diri baginda Nabi Muhammad Saw, sehingga ketika suatu saat
Aisyah ra mencoba mengalihkan memory baginda dari Khadijah ra, Nabi Saw
berbalik menegaskan kekaguman atas kebersamaan dengan Khadijah.
“Demi
Allah, sungguh Allah tidak memberikan pengganti seorang perempuan untuk menjadi
isteri bagiku yang lebih baik daripada Khadijah. Dia beriman kepadaku ketika
orang-orang mengingkari kenabianku, dia membenarkanku ketika orang-orang
mendustakan diriku, dan dia membantuku dengan harta kekayaannya ketika orang
lain tidak mau memberiku, dan dari rahimnya Allah menganugerahkan anak-anak
bagiku, yang tidak aku peroleh dari perempuan-perempuan lainnya”.([xviii])
è Kesan Nabi Saw terhadap perkawinan
bersama Khadijah, memperkuat betapa sunnah memberikan pilihan nyata terhadap
monogami. Pilihan ini, lebih tegas lagi disampaikan Nabi Saw pada kasus rencana
poligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika Ali ra berencana menikah lagi dengan
perempuan lain, selain dengan Fathimah ra. Keluarga perempuan tersebut
datang meminta izin Rasulullah karena akan menikahkan putri mereka dengan Ali
ra yang sudah beristeri Fathimah ra. Baginda Rasul menolak memberikan izin.
Bahkan bergegas naik di atas mimbar dan mengumumkan kepada khalayak masyarakat
pada saat itu, bahwa baginda Nabi Saw tidak mengizinkan rencana Ali ra menikah
lagi. Baginda kemudian memberikan
kesempatan kepada Ali ra untuk menceraikan Fathimah ra, putri baginda jika
hendak menikahi putri mereka. Nabipun Saw mengungkapkan betapa baginda merasa
sakit dengan kesakitan yang dialami putri Fathimah jika dipoligami.
عن المسور بن مخرمة رضي الله عنه، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول، وهو على المنبر: إن بني هشام بن المغيرة استاذنوني في أن ينكح ابنتهم علي بن
أبي طالب، فلا آذن، ثم لا آذن، ثم لا آذن، إلا أن يريد ابن أبي طالب أن يطلق ابنتي
وينكح ابنتهم، فإنما هي بضعة مني يريبني ما أرابها، ويؤذيني ما آذاها. (رواه
البخاري ومسلم).
"Dari al-Miswar bin Makhramah berkata: Aku
mendengar Rasulullah Saw bersabda di atas mimbar: “Beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku
untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, -ketahuilah-, aku
tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku
izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu
mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang
mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya
adalah menyakiti hatiku juga”. ([xix]).
è Dalam teks sunnah ini, secara tersurat
disebutkan alasan Nabi Saw tidak memberikan izin poligami, yaitu karena
mengganggu perasaan Fathima ra dan menyakiti hatinya. Karena itu, Imam
al-Bukhari sendiri memberi judul bab untuk hadits ini dengan pernyataan
"upaya keras orang tua untuk membela putrinya agar tetap diperlakukan
dengan layak dan adil" (bâb dzabb ar-rajuli 'an ibnatihî fi al-ghirati
wa al-ishâfi). Poligami menyakiti hati Fathima ra, sebagaimana juga
menyakiti banyak perempuan. Nabi Saw merasakan sakit hati itu, dan berkewajiban
membelanya agar tidak menjadi korban perlakuan yang menyakitkan.
è Ada alasan lain, yaitu karena yang
ingin dinikahi Ali ra adalah putri Abu Jahl yang bernama al-Juwairiyyah. Nabi
Saw tidak ingin putri Rasulullah Saw berkumpul dengan putri musuh Allah Swt.
Alasan ini seringkali diungkapkan beberapa ulama. Hal itu juga secara tersurat
disebutkan dalam salah satu riwayat teks sunnah.
عن المسور بن مخرمة
رضي الله عنه، قال: إن عليا خطب بنت أبي جهل وعنده فاطمة ابنة النبي صلى الله عليه
وسلم، فسمعت بذلك فاطمة فأتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يزعم أنك لا
تغضب لبناتك، وهذا علي ناكحة ابنة أبي جهل. فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم. فسمعته
حين تشهد يقول: أما بعد، فإني أنكحت أبا العاص ابن الربيع فحدثني وصدقني، وإن
فاطمة بضعة مني وأنا أكره أن يسوءوها –وفي رواية أن يفتنوها- والله لا تجتمع بنت
رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد أبدا. (رواه مسلم والترمذي).
"Dari
al-Miswar bin Makhramah ra, berkata: bahwa Ali meminang anak perempuan Abu
Jahal, padahal dia sudah beristeri Fathimah ra putri Nabi Saw. Fathimah
mendengar hal tersebut, lalu mendatangi Rasulullah Saw, seraya berkata:
"Dia menganggap kamu tidak akan pernah marah membela putri-putri kamu
(wahai ayahku). Ini, Ali akan menikahi anak Abu Jahal". Lalu Rasulullah
Saw bergegas, dan aku mendengar, setelah selesai shalat, baginda berkata:
"Amma ba'du (maka setelah itu), aku telah menikahkan putriku terhadap Abu
al-Ash bin ar-Rabi dan dia setia serta jujur terhadapku. Fathimah itu bagian
dari diriku, aku tidak senang jika ada orang berbuat buruk terhadapnya –dalam
suatu riwayat, jika ada orang yang membuat fitnah (gangguan) kepadanya-, demi
Allah, tidak akan pernah bisa berkumpul putri Rasulullah dengan putri musuh
Allah dalam pangkuan satu orang suami selamanya". (Riwayat Muslim dan
at-Turmudzi).([xx])
è Pandangan ini perlu dipertimbangkan
karena bertentangan dengan akhlak Nabi Saw yang pemaaf terhadap bekas-bekas
musuh, tidak mengungkit kesalahan masa lalu dan tidak mengaitkan seseorang
dengan kesalahan orang tuanya. Menjadikan 'calon isteri kedua yang anak Abu
Jahal' sebagai alasan pelarangan poligami, sebenarnya sangat membingungkan
dalam konteks pembicaraan mengenai kepribadian Nabi Muhammad Saw. Karena,
dengan menerima alasan ini berarti kita mencitrakan Nabi Saw sebagai pendendam
terhadap musuh. Padahal semua tahu, sifat Nabi Saw tidak demikian adanya.
Betapa hubungan Nabi Saw dengan Abu Sufyan ra, musuh utama Nabi Saw dalam
seluruh peperangan melawan Quraisy, setelah dia masuk Islam adalah sangat baik.
Padahal isterinyalah yang merobek dada paman Nabi Saw Hamzah dan memakan ulu
hatinya. Sebelum Abu Sufyan masuk Islampun, Nabi Saw menikahi putrinya Umm
Habibah ra. Nabi Saw juga menikahi Shafiyyah putri Huyayy bin Akhthab pemimpin
Kaum Bani Nadhir yang memerangi Nabi Saw sampai tetes darah penghabisan.
è Catatan relasi Nabi Saw dengan
bekas-bekas musuh sangat banyak. Dan tentu banyak catatan tentang orang yang
awalnya memusuhi Nabi Saw, kemudian berbalik masuk Islam dan menjadi pembela
utama dan memiliki hubungan yang sangat baik dengan Nabi Saw. Sesuatu yang
sangat naif, jika kemudian Nabi Saw menganggap buruk terhadap al-Juwairiyyah
binti Abu Jahal, hanya karena status dia adalah anak musuh Allah. Padahal dia
sendiri sudah menjadi muslimah yang baik. Islam sendiri tidak mengaitkan
dosa-dosa orang lain, orang tua sekalipun, dengan anaknya.
è Nabi Saw dalam teks sunnah di atas,
lebih memuji kesetiaan Abu al-Ash suami Zainab binti Muhammad Saw. Padahal Abu
al-Ash hampir selama enam tahun berpisah dari Zainab yang berada di Madinah,
karena ia saat itu masih berada pada barisan orang-orang kafir Quraisy di
Mekkah. Tetapi Abu al-Ash tetap setia, begitu juga Zainab, sehingga ketika dia
menyusul ke Madinah dan masuk Islam, Nabi Saw mempertemukan mereka kembali
tanpa mengulangi pernikahan mereka sama sekali.
è Fathimah sendiri merasa sakit hati,
dan perasaanya diakui Nabi Saw. Berarti, sakit hati karena poligami juga
'sunnah'. Karena ia dirasakan Fathimah ra dan diakui Nabi Saw. Perempuan bisa tidak mengizinkan dirinya dipoligami,
atau orang tua bisa tidak mengizinkan putrinya dipoligami. Penolakan ini tidak
ada kaitannya dengan kurang beragama, kurang sabar, atau kurang setia terhadap
suami. Penolakan merupakan hak penuh perempuan, maupun orang tua. Lebih dari
itu, ia juga merupakan sunnah, yang nyata dipraktikkan Nabi Saw. Pada teks
sunnah di atas, jelas sekali bagaimana Fathimah ra dan Nabi Saw menolak rencana
poligami Ali ra. Dan sesuatu yang dipraktikkan Nabi Saw, atau yang diakui Nabi
Saw adalah sesuatu yang disebut sunnah. Sekali lagi, menolak poligami adalah
sunnah, sakit hati terhadap poligami juga sunnah.
è Dengan demikian kita tidak bisa
menyatakan bahwa pelarangan Nabi Saw ini merupakan tindakan khusus, yang hanya
menyangkut pribadi keluarga Nabi Saw semata. Tidak tepat juga dinyatakan, bahwa
tindakan itu tidak bisa diteladani para perempuan lain, atau para orang tua
lain. Pertama, karena tidak ada pernyataan dari Nabi Saw langsung bahwa
tindakan itu merupakan suatu hal yang khusus bagi keluarga Nabi. Kedua, karena
penolakan itu diungkapkan di atas mimbar masjid di hadapan khalayak
sahabat-sahabat pada saat itu. Jika merupakan tindakan khusus, semestinya Nabi
Saw tidak perlu keluar mengumumkan maklumat 'penolakan' itu ke masyarakat luas.
Ketiga, karena poligami adalah persoalan parsial yang harus tunduk pada prinsip
keadilan terhadap perempuan. Sehingga tanpa 'sunnah penolakan poligami'
sekalipun, poligami bisa tidak diperkenankan jika melanggar prinsip-prinsip
keadilan seperti yang diamanatkan al-Qur'an. Atau jika mengakibatkan kenistaan
bagi perempuan.
[iii] Lihat: Ibn Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn
Mâjah, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Maktabah Dahaln, Indonesia, tt, juz
I, hal. 628, Kitab an-Nikah, no. bab: 40, no. hadits: 1952.
[v] Lihat: Ibn al-Atsir, juz XII, hal 170, no. hadits: 9054.
[vii]
Lihat: ash-Shan'ani, Muhammad bin Isma'il, Subûl
as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Jam' Adillat al-Ahkâm, Maktabah
Dahlan, tt: Bandung, juz III, hal. 165.
[xiv]
Lihat: al-Mubarakfuri, Muhammad Abd ar-Rahman
bin Abd ar-Rahim, Tuhfat al-Ahwadzi, Dar al-Fikr, Beirut,
1995, juz IV, hal. 228.
[xv] Lihat: Ibn al-Atsir, juz X, hal. 79-80.
[xvi] Ibid.
[xvii] Ibid.
[xviii]
Lihat: Aisyah bintusy-Syâthi, Istri-Istri Nabi: Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita, (terjemahan), Pustaka Hidayah, Bandung, 2001, hal. 58.
[xix] Lihat: Ibn Hajar, Fath al-Bâri, juz X, hal. 409, no. hadits:
5230.
[xx] Lihat: Ibn al-Atsir, juz XII, hal. 162-163, no. hadits: 9026.